JAKARTA — Perempuan kerap diumpamakan tercipta dari tulang rusuk lelaki. Barangkali, ini sebagai pengingat bahwa perempuan diciptakan untuk berada di samping lelaki, untuk disayang dan dilindungi.
Dalam kenyataan, perempuan kerap kali tak sekadar menjadi pendamping, melainkan harus berperan sebagai tulang punggung alias pencari nafkah utama dalam keluarga.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang digelar Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga cenderung terus meningkat. Pada 2012 jumlahnya hanya 8,88 juta, lalu makin merayap naik hingga menjadi 11,5 juta orang pada 2020.
Jika dibandingkan dengan populasi rumah tangga di Indonesia, porsi perempuan sebagai kepala rumah tangga juga terus meningkat dari 14% menjadi 16%, selama periode yang sama.
Di masa krisis akibat pandemi tahun 2021 dan 2022, populasinya sedikit menurun, berturut-turut menjadi 10,9 juta dan 9,27 juta.
Istilah perempuan-kepala-rumah-tangga merujuk kepada perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau breadwinner keluarga.
Masyarakat kerap menyederhanakan sebutan bagi kelompok ini sebagai “janda”. Tampaknya, ini bukan sebutan yang terlalu keliru. Sebagian besar perempuan ini berubah statusnya menjadi pencari nafkah utama karena bercerai.
Dari 9,27 juta kepala-rumah-tangga-perempuan pada 2022, sekitar 8,01 juta atau 86% di antaranya menjadi breadwinner akibat ditinggal mati suami atau lantaran cerai-hidup.
Sisanya, 5% telah menjadi kepala rumah tangga saat masih lajang, dan 9% lainnya menjadi pencari nafkah utama meski statusnya masih bersuami.
Ini terjadi karena suami menganggur, sakit permanen, atau bertahun-tahun memburuh ke luar negeri.
Kelompok paling rentan
Berbagai riset menunjukkan, kelompok ini termasuk yang paling rentan, baik secara sosial maupun ekonomi. Bank Dunia menyebutnya sebagai salah satu kelompok paling miskin dalam masyarakat di negara berkembang.
Pengolahan data Susenas mencatat gelagat serupa. Setiap dua dari lima orang atau 40% dari populasi kepala-rumah-tangga-perempuan berada dalam status tidak bekerja alias menganggur.
Rasio pengangguran pada kelompok kepala-rumah-tangga-perempuan ini berkali-kali lipat lebih tinggi dari tingkat pengangguran terbuka Indonesia yang hanya 5,32%.
Riset Bank Dunia di Amerika Latin dan Karibia menyimpulkan, kalaupun mendapatkan pekerjaan, kelompok ini –apalagi dengan tanggungan anak-anak usia sekolah—mendapatan penghasilan lebih rendah ketimbang orang dewasa lainnya.
Seringkali satu-satunya pekerjaan yang menawarkan keluwesan bekerja sambil mengurus anak, hanya berada di sektor informal.
Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, kondisinya juga mengkhawatirkan. Lebih dari separuh kepala rumah tangga perempuan, jumlah persisnya 5,27 juta orang, hanya tamat SD atau bahkan tidak pernah sekolah. Tak sampai 10% yang lulus perguruan tinggi.
Lebih dari itu, mereka kerap mengalami diskriminasi dan mendapatkan stempel berbagai stigma sosial.
Komisi Nasional Perempuan melaporkan, selama 2016-2020 terdapat 889 kasus kekerasan yang dilakukan mantan suami –baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi—kepada kepala rumah tangga perempuan.
Sayangnya, perlidungan bagi perempuan kepala rumah tangga dari kekerasan maupun kerawaan ekonomi masih amat minim.
Pemerintahan baru di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto perlu menempatkan mereka sebagai kelompok prioritas yang berhak menerima bantuan, baik sosial maupun hukum.