JAKARTA – Selain impor jagung, tahun ini pemerintah juga bertekad untuk menyetop impor gula. Apa itu berarti Indonesia sudah swasembada gula? Tunggu dulu.
Selama lebih dari 30 tahun terakhir, impor gula cenderung terus menanjak. Data BPS mencatat, impor gula berlipat 16 kali dari 330.000 ton pada 1989 menjadi 5,4 juta ton pada 2024 (data sampai November).
Dengan defisit selebar itu, bagaimana mungkin pemerintah menyetop impor?
Ternyata, yang ingin disetop bukan impor gula secara keseluruhan, tapi khusus untuk gula konsumsi rumah tangga.
Selama ini, gula diimpor dalam tiga bentuk: gula kristal mentah (raw sugar), gula kristal rafinasi (refined sugar), dan gula kristal putih (plantation white sugar).
Dua yang pertama diimpor untuk bahan baku industri, sedangkan gula kristal putih didatangkan dari luar negeri untuk bumper kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Idealnya, kebutuhan konsumsi rumah tangga dapat dipasok dari produksi gula lokal. Saat ini, terdapat 59 pabrik yang mengolah tebu hasil perkebunan menjadi gula kristal putih di seluruh Indonesia. Selain itu, terdapat sejumlah pabrik gula rafinasi, yang khusus mengolah raw sugar impor menjadi bahan baku industri.
Data Badan Ketahanan Pangan (BKP) mencatat, selama 2014-2023, produksi gula kristal putih lokal bervariasi antara dua sampai 2,4 juta ton per tahun, tergantung dari luas tanam tebu, produktivitas kebun, dan rendemen di pabrik.
Ketika produksi gula lokal melorot atau stok nasional menipis, saat itulah gula kristal putih impor masuk sebagai ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengendalikan gejolak harga yang kerap meroket jika pasokan mengering.
Jika hanya membandingkan data produksi dan konsumsi gula per kapita dari BPS, BKP, dan Kementerian Pertanian, di atas kertas, Indonesia tidak perlu mengimpor gula konsumsi. Kebutuhan gula kristal putih untuk rumah tangga 100 persen dapat dipenuhi oleh produksi lokal.
Tahun 2022 dan 2023, misalnya, konsumsi gula menurut BPS masing-masing mencapai 6,32 dan 5,3 kilogram per kapita. Kalau disetarakan dengan jumlah penduduk saat itu, total konsumsi gula untuk kebutuhan rumah tangga di Indonesia mencapai 1,72 dan 1,48 juta ton.
Kebutuhan ini jauh di bawah produksi gula lokal, yang menurut data BKP mencapai 2,4 juta ton pada 2022 dan 2,27 juta ton pada 2023. Harusnya, jika cuma melihat data resmi yang tersedia, kita malah surplus gula kristal putih.
Nyatanya, pada kedua tahun tersebut, Indonesia masih harus mengimpor gula kristal putih. Data dari CEIC, sebuah lembaga konsultansi dan penyedia data mencatat, impor gula konsumsi itu masing-masing mencapai 150.000 ton pada 2022 dan 133.000 ton pada tahun berikutnya.
Ambisi untuk menyetop impor gula konsumsi mungkin tidak berlebihan. Selama ini, porsi impor gula konsumsi hanya seupil, tak sampai tiga persen dari total volume impor gula.
Masalahnya, data produksi dan konsumsi gula yang tersedia, seperti tampak pada ilustrasi di atas, sulit dijadikan pegangan. Jika keputusan untuk impor atau tidak impor didasarkan pada data yang amburadul, pasokan gula bisa kacau.
Jika pasokan kacau, masyarakat yang bakal menderita.