JAKARTA – Kisah “nasi yang menangis” menunjukkan orang tua zaman dulu sangat peduli agar anak-anak tak menyisakan makanan. Cerita ini selalu diakhiri dengan nasihat: jangan mubazir dan membuang-buang makanan. Makanan sisa yang terbuang ini akan berakhir di tempat sampah.
Kisah sederhana tersebut menyimpan magnitude yang besar. Laporan Food Waste Index Report 2024 yang disusun oleh badan lingkungan dunia UNEP memperkirakan, total limbah makanan dunia pada 2022 mencapai 1,05 miliar ton atau sekitar 132 kilogram per kapita.
Sekitar 60 persen dari limbah ini berasal dari sampah rumah tangga. Sisanya (28 persen), berasal dari jasa layanan seperti rumah makan, cafe, dan hotel serta 12 persen lagi dari sisa makanan rusak atau kadaluwarsa di toko-toko ritel.
Menurut UNEP, limbah makanan menyebabkan kerugian hingga lebih dari US$1 triliun setiap tahun.
Selain itu, limbah organik ini ikut menyumbang hingga 10 persen dari emisi gas rumah kaca atau setara dengan emisi yang dihasilkan oleh hampir sepertiga lahan pertanian dunia.
Ini belum termasuk food loss, sebutan yang merujuk pada kehilangan bahan pangan ketika berada dalam proses produksi, paskapanen, pengangkutan, atau penyimpanan di gudang/pasar, sebelum dikonsumsi.
Jika seperempat saja dari makanan terbuang ini dapat diselamatkan, kita dapat menyajikan lebih dari satu miliar porsi makanan setiap hari. Ini cukup untuk mengurangi bahaya kelaparan secara signifikan.
Pada 2022, sekitar 783 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan, dan 150 juta anak balita pertumbuhannya terhambat akibat kekurangan gizi.
Pengalihan limbah bahan pangan menjadi makanan dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi, terutama untuk populasi yang rentan.
Kerugian ekonomi dan ancaman kerusakan lingkungan yang luar biasa membuat limbah makanan menjadi salah satu poin dalam SDGs, dengan target mengurangi separuh limbah makanan global pada 2030.
Sampah makanan di Indonesia
Di Indonesia, sampah makanan selalu menjadi jenis sampah terbesar. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, tahun 2023 porsi sampah makanan mencapai 40 persen dari total sampah, dengan volume 15,8 juta ton atau sekitar 58,5 kilogram per kapita.
Sayangnya, data sampah sulit dilacak perkembangannnya dari tahun ke tahun lantaran sistem pelaporan dan pencatatannya belum ajeg dan akurat.
Seperti halnya banyak terjadi di negara lain, tak semua wilayah dan lembaga di Indonesia memiliki kapasitas dan teknologi untuk mimilah dan mengukur volume sampah secara akurat. Limbah makanan sering tercampur dengan limbah lain, sehingga sulit diukur secara terpisah.
Pengukuran sampah sisa makanan di Indonesia diperoleh secara sporadik dari laporan pengelola sampah di daerah ke SIPSN. Beberapa wilayah hanya melaporkan total timbulan sampah tanpa merinci komposisinya.
Sebagai contoh: Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, dan Jakarta Barat –tiga daerah penghasil sampah terbesar di tingkat kabupaten/kota di Indonesia misalnya– tak tercatat sebagai penghasil sampah makanan lantaran tak merinci komposisi sampahnya.
Dari 373 kabupaten/kota yang terdata di SIPSN, hanya 264 yang merinci komposisi sampahnya sehingga dapat diukur volume setiap jenis sampah.
Dari 264 tersebut, Kota Bekasi tercatat sebagai wilayah penghasil sampah makanan terbesar di Indonesia, dengan 415.832 ton selama 2023 atau 131,7 kilogram per kapita – lebih dari dua kali mlipat rata-rata sampah makanan per kapita nasional.