JAKARTA – Bagi industri farmasi, musim telah berganti. Permintaan atas produk kesehatan, dari obat sampai suplemen, dari madu sampai tabung oksigen, tidak lagi sekencang masa pandemi.
Bagaimana industri farmasi beradaptasi dengan situasi?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama dua tahun terakhir sub-sektor industri kimia, farmasi, dan obat tradisional hanya tumbuh merayap: 0,7 persen pada 2022, dan 0,1 persen pada 2023.
Padahal, di masa puncak pandemi, kelompok usaha ini melambung dengan pertumbuhan 9,4 persen (2020) dan 9,6 persen (2021) – rekor tertinggi pertumbuhan sub sektor ini, setidaknya sejak 2013.
Nasib industri farmasi sedikitnya tergambar dari kinerja perusahaan farmasi di pasar modal. Sejauh ini, terdapat 11 perusahaan penghasil obat-obatan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan total aset Rp80,1 triliun (data per 30 September 2024).
Perusahaan dengan aset terkecil adalah Indofarma dengan aset Rp758 miliar, dan Kalbe Farma yang terbesar dengan aset Rp28,8 triliun.
Menggejot obat generik
Selama empat tahun terakhir, total penjualan 11 perusahaan ini cenderung terus meningkat, bahkan setelah masa pandemi. Hingga kuartal-3 2024, total hasil penjualan dari ke-11 perusahaan ini mencapai Rp58,8 triliun, naik dari Rp51,9 triliun pada kuartal-3 2021.
Pergantian musim agaknya tak membuat perusahaan farmasi kehilangan pasarnya. Beragam cara dilakukan untuk membuat pendapatan tidak merosot.
Yang paling menonjok: industri farmasi kini berebut pasar obat generik yang diserap oleh jaringan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas).
Kalbe Farma, Tbk (KLBF), misalnya. Perusahaan ini memiliki divisi obat resep, produk kesehatan, nutrisi, serta distribusi dan logistik. Kalbe menggenjot divisi distribusi sehingga pada triwulan ketiga 2024, menyumbang sekitar 30 persen dari total penjualan bersih perusahaan yang mencapai Rp24,2 triliun.
Selain menggenjot distribusi, Kalbe juga memperkuat pasar obat generik dengan meluncurkan obat tanpa merek, terutama untuk pengobatan penyakit degeneratif. Penjualan obat generik tanpa merek terus mendominasi kinerja sektor farmasi Indonesia sejak berlakunya skema jaring kesehatan nasional (JKN) sejak 2014.
Upaya menggenjot obat generik juga dilakukan Tempo Scan Pacific Tbk melalui anak perusahaan, PT Tempo Rx Farma. Perusahaan ini mengkaegorikan kegiatan usahanya dalam tiga segmen, yaitu farmasi, produk konsumen dan kosmetik, dan jasa distribusi.
Pada triwulan ketiga 2024, kontribusi terbesar penjualan (35 persen) berasal dari segmen farmasi. Secara keseluruhan, Tempo Scan Pacific membukukan penjualan mencapai Rp7,9 triliun pada triwulan ketiga 2024.
Lompatan terbesar penjualan terjadi pada Pyridam Farma Tbk. Perusahaan ini membagi kegiatan usahanya dalam dua segmen, yaitu produk farmasi, estetik, dan jasa maklon (pengolahan produk); serta produk alat kesehatan.
Pada triwulan ketiga 2024, penjualan perusahaan ini melonjak sampai 123 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan itu terjadi setelah Pyridam Farma melalui PYFA Australia Pty. Ltd, mengakuisisi 100 persen saham Probiotec Limited pada Juni 2024.
Perusahaan lain yang mencatat pertumbuhan adalah PT Soho Global Health Tbk, PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul Tbk, dan Darya-Varia Laboratoria Tbk. Sementara Kimia Farma Tbk. dan PT Organon Pharma Indonesia Tbk penjualannya masih tetap tumbuh meskipun melambat.
Perusahaan dengan penjualan triwulan ketiga 2024 menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya adalah PT Phapros Tbk, Merck Tbk, dan Indofarma Tbk.