JAKARTA — Barangkali tak ada senyawa yang lebih ganjil dari alkohol. Zat ini merupakan obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, tapi sekaligus dikenal sebagai racun yang mematikan.
Alkohol dapat membunuh bakteri dan virus — lazim pula dipakai sebagai obat pencegah infeksi, pereda rasa sakit, bahan anastesi, penawar racun, hingga pelarut obat seperti sirup.
Namun bersamaan dengan itu, campuran alkohol ke dalam minuman (kerap disebut sebagai minuman keras alias miras) juga dikaitkan dengan penyakit hati (sirosis), hipertensi, gangguan jantung, kanker, serta berbagai penyakit menahun lainnya. Miras santer disebut menjadi penyebab dari tiga juta kematian setiap tahun, di seluruh dunia.
Ini belum menghitung dampak konsumsinya dalam kecelakaan lalu lintas, kekerasan rumah tangga, macam-macam tindak kriminal, dan penurunan produktivitas.
Saking besarnya dampak buruk miras, pemerintah di berbagai belahan dunia berusaha mengendalikan konsumsinya dengan semacam “pajak dosa” alias cukai.
Di Indonesia, pertumbuhan konsumsi miras cenderung melandai, meski penerimaan cukai MMEA (minuman mengandung etil alkohol) terus meningkat.
BPS mencatat, pengeluaran masyarakat untuk konsumsi miras hanya sedikit naik dari Rp1,16 triliun pada 2019 menjadi Rp1,22 triliun pada 2023, atau tumbuh 5,2 persen selama empat tahun terakhir.
Selama periode yang sama, penerimaan cukai MMEA naik dari Rp6,8 triliun menjadi Rp8,1 triliun atau meningkat 19 persen.
Selisih yang sangat besar antara pengeluaran masyarakat dan penerimaan cukai terjadi lantaran cara pengukuran yang berbeda.
BPS mengukur konsumsi miras pada rumah tangga Indonesia, sedangkan penerimaan cukai berdasarkan total penjualan minuman beralkohol di seluruh tanah air – termasuk konsumsi dari turis dan warga asing.
Arak paling favorit
Jika dirinci lebih dalam, konsumsi miras masyarakat Indonesia terpusat pada tujuh daerah, berturut-turut Sumatera Utara (Sumut), disusul Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat (Kalbar), kemudian Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan Sulawesi Utara.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 menunjukkan belanja miras seluruh rumah tangga di tujuh pasar utama ini mencapai Rp71,7 miliar atau 70 persen dari konsumsi nasional.
Ditinjau dari jenisnya, miras favorit yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga Indonesia adalah arak (anggur), baru kemudian bir dan produk miras tradisional.
Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) oleh Kementerian Kesehatan pada 2023 menemukan bahwa miras jenis anggur/arak menjadi favorit 33 persen responden. Bir ada di posisi kedua, disusul miras tradisional keruh dan miras tradisional bening.
Hasil SKI juga menunjukkan bahwa mayoritas (68 persen) peminum alkohol di Sumut memilih miras tradisional keruh, yaitu tuak dari enau yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, bahkan menjadi bagian dari beragam upacara adat.
NTT juga memiliki miras tradisional serupa yang bernama sopi, berasal dari bahasa Belanda “zoopje” yang artinya alkohol cair. Minuman ini dibuat dari hasil sadapan pohon lontar.
Beberapa miras tradisional yang cukup populer di Indonesia antara lain cap tikus dan saguer (Sulawesi Utara); Ciu (Jawa Tengah); Lamikero (Maluku); Lapen (Yogyakarta); Ballo (Sulawesi Selatan).
Meski penjualan miras diizinkan, pemerintah mengawasi ketat peredarannya. Miras hanya boleh dijual di tempat-tempat tertentu kepada warga berusia minimal 21 tahun. Penjual harus mengecek KTP pembeli.
Selain itu, sejak awal 2024 pemerintah juga menaikkan tarif cukai MMEA. Tarif cukai miras terendah (kadar alkohol 5 persen ke bawah) naik 10 persen menjadi Rp15.000 per liter, dan termahal (kadar alkohol 55 persen) naik sembilan persen menjadi Rp152.000 per liter untuk produk impor.