JAKARTA – Ketahanan pangan, kalau menurut istitah dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18/2012, terpenuhinya pangan hingga perorangan. Indikator itu mencakup jumlah persediaan, kualitas, dan terjangkau (dari sisi harga).
Definisi ini selaras dengan acuan internasional, seperti diurai oleh Global Food Security Indeks (GFSI) yang dikeluarkan oleh Economist Impact (The Ecnonomist Group). Indeks ketahanan pangan memiliki empat indikator utama: keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas dan keamanan (quality and savety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).
Kalau mengacu indikator-indikator tersebut, posisi ketahanan pangan Indonesia tampaknya tidak menggembirakan. Setidaknya dilihat dari perkembangan beras, komoditas yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.
Beras juga komponen yang berkontribusi paling besar terhadap garis kemiskinan. Untuk masyarakat perkotaan, sumbangannya 73,00 persen, dan bagi masyarakat perdesaan 76,08 persen. Ini mengisyaratkan bahwa sebagian besar atau lebih 70 persen pendapatan masyarakat miskin dibelanjakan untuk konsumsi beras. Karena itu, jika daya jangkau terhadap beras makin sulit, peluang masyarakat jatuh miskin bakal semakin besar.
Sementara hingga saat ini, harga beras masih di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai patokan, yakni di kisaran Rp10.900-14.800 per kilogram, dari beras medium hingga premium. Faktanya, harga di pasar rata-rata masih di kisaran Rp14.200-16.100, menurut data Bank Indonesia per 12 April 2024.
Begitu pun dengan soal ketersediaan yang diindikasikan melalui kemampuan produksi. Hikayat beras pun mengkhawatirkan. Kemampuan produksi 2023 yang sekitar 30,9 juta ton, merupakan yang terburuk sejak 2018.
Menurunnya kemampuan produksi ini, ujungnya mudah ditebak. Impor makin membengkak. Pada 2023, realisasinya mencapai 3,9 juta ton. Bahkan tahun ini pun jumlahnya masih ada di kisaran angka tahun lalu.
Bagi masyarakat, hasil produksi beras di dalam negeri sebagian besar, yakni 97,13 persen, digunakan untuk bahan makanan. Tak terbatas jadi nasi untuk konsumsi, bisa juga makanan lain, termasuk kue.
Namun, tidak sedikit yang masih tercecer, yakni 2,52 persen atau sekitar 843 ribu ton. Jumlah ini bahkan lebih besar dibandingkan beras yang diolah untuk pakan ternak, yang sebanyak 57 ribu ton atau 0,17 persen dari total pemanfaatan di dalam negeri.
Dari sisi wilayah produksi, seperti diukur melalui volume produksi padi pada 2023, masih dikuasai Jawa Timur. Provinsi ini memproduksi padi sekitar 9,7 juta ton. Selanjutnya diikuti oleh Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan.
Tragisnya, tiga dari lima sentra produksi beras tersebut kinerjanya pada 2023 tidak menggembirakan. Produksi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan menyusut masing-masing 3,1, 2,9, dan 9,0 persen. Hanya di Jawa Timur dan Sumatera Selatan yang tetap tumbuh positif, yakni 1,9 dan 2,1 persen.
Dengan melihat indikator harga dan kemampuan produksi pangan, seperti ditunjukkan melalui komoditas beras, tampaknya ketahanan pangan Indonesia tidak bertambah baik. Ada pekerjaan rumah besar, tentu saja bagi pemerintah, menjaga stabilitas harga serta mendorong produksi.
Jika dua hal ini tidak dapat dirawat dengan baik, sebagian besar komponen dalam ketahanan pangan (khususnya beras) Indonesia ada di zona merah. Jurang kemiskinan pun kian menganga lebar.