Usia Pernikahan dan Pudarnya Stigma Jomlo

JAKARTA — Sebentar lagi puasa, lalu lebaran, lalu mudik. Lepas dari kegembiraan yang mewarnai mudik dan lebaran, biasanya ada satu pertanyaan dari sanak kerabat di kampung yang kerap membuat para jomlo merasa was-was: kapan mau menikah?

Ini pertanyaan yang merepotkan. Kadang menjengkelkan, dan bikin tertekan. Tapi para jomlo, ketahuilah. Jumlah orang yang memilih untuk tidak menikah, atau menunda pernikahan, sama seperti Anda, kini semakin banyak.

Dulu, setengah abad lampau, pernikahan seperti jadi impian setiap orang. Membangun keluarga bukan hanya harapan, tapi juga keniscayaan. Di usia dini kita masuk sekolah, lalu kuliah, lalu bertemu seseorang, lalu tahu-tahu duduk di pelaminan.

Menikah, punya anak, dan memulai sebuah keluarga. Seolah-olah menikah adalah salah satu “check-list” yang musti dilalui dalam kehidupan. Selalu seperti itu, dan tampaknya akan selalu begitu.

Namun belakangan, jumlah yang “tidak begitu” ternyata semakin banyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2011 hanya ada 5,8% lelaki dan 7,8% perempuan dewasa yang belum atau tidak menikah.

Sepuluh tahun kemudian, pada 2021, porsi lelaki dan perempuan dewasa yang belum atau tidak menikah meningkat masing-masing menjadi 6,6% dan 9,4%. Dengan kata lain, setidaknya kini ada satu dari 14 lelaki, dan satu dari 10 perempuan dewasa, yang belum atau tidak menikah.

Selain belum atau tidak menikah, kelompok orang yang menunda pernikahan juga semakin banyak. Pada 2015 terdapat 4,6% lelaki dan 1,1% perempuan yang memilih menikah pada usia lebih dari 30 tahun. Enam tahun kemudian, 2021, porsi ini naik lebih dari dua kali lipat, masing-masing menjadi 10,2% dan 2,5%.

Seiring dengan itu, kelompok yang menikah pada usia “ideal” antara 19 – 30 tahun, porsinya terus menurun. Selama periode yang sama, mereka yang menikah pada usia “normal”, turun dari 92% menjadi 84% untuk lelaki, dan 71% menjadi 63% untuk perempuan.

Stigma yang memudar

Menunda pernikahan sepertinya cukup menguntungkan, jika ditinjau dari beberapa sisi. Misalnya, mereka lebih punya kesempatan untuk memilih pasangan yang cocok. Selain itu, mereka juga lebih punya waktu untuk mengembangkan karier, menyiapkan diri secara mental dan finansial.

Namun, menikah di usia lanjut juga merupakan pilihan berisiko, baik bagi bayi dan ibunya, jika si ibu berniat untuk melahirkan. Data BPS pada 2017 mencatat, bagi ibu yang berusia 40 tahun atau lebih, tingkat mortalitas neonatal dan bayi mencapai 33 kematian per 1.000 kelahiran.

Padahal, jika usia ibu lebih muda, katakanlah 19 – 39 tahun, tingkat mortalitas turun jauh — menjadi hanya 16 kematian per 1.000 kelahiran.

Jadi, apakah lebih baik menikah sekarang atau menundanya nanti-nanti? Ini pertanyaan yang sulit. Kita bisa berdiskusi sampai jontor, dan mungkin tak akan menemukan jawaban yang paling memuaskan.

Banyak orang yang bahagia tanpa pernikahan, atau tak punya anak. Namun, kita juga tak bisa mengingkari, banyak orang yang menganggap pernikahan dan keluarga adalah cahaya dari kehidupan. Banyak orang yang yakin pernikahan merupakan satu-satunya jalan untuk benar-benar bahagia dan menjadi manusia yang “utuh”.

Statistik di atas mungkin tidak bisa membantu Anda, para jomlo, menjawab pertanyaan sanak kerabat ketika Anda pulang kampung, lebaran nanti. Tapi setidaknya, statistik itu menggambarkan, pernikahan sebagai satu-satunya jalan hidup, satu-satu impian, mulai kehilangan pamor. Barangkali, stigma jomblo pelan-pelan juga mulai pudar.

10 Raja Properti Indonesia

Artikel sebelumnya

Aset Bumi Serpong Damai

Artikel selanjutnya

Baca Juga