JAKARTA — Selama tujuh tahun terakhir, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun. Ini ditunjukkan oleh turunnya porsi pengeluaran untuk bukan-makanan (non-food spending), yang kerap dinilai sebagai ukuran standar hidup atau tingkat kesejahteraan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, porsi pengeluaran bukan-makanan rumah tangga Indonesia turun 2,8%, dari semula 51,32% pada 2016 menjadi 49,86% pada 2022.
Turunnya alokasi pengeluaran bukan-makanan menunjukkan makin terbatasnya “ruang finansial” rumah tangga untuk berbelanja kebutuhan yang tidak esensial. Misalnya, pengeluaran untuk barang-barang tahan lama seperti kulkas, mesin cuci, atau pendingin ruangan; serta pengeluaran untuk kebutuhan tersier seperti hiburan, olah raga, dan piknik.
Turunnya porsi pengeluaran bukan-makanan (atau naiknya porsi pengeluaran pangan) juga mencerminkan berkurangnya kualitas hidup, karena sebagian besar pengeluaran habis untuk belanja makanan. Kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya jadi menurun.
Meski standar hidup menurun, alokasi pengeluaran rumah tangga Indonesia menunjukkan “perbaikan”. Misalnya, porsi pengeluaran untuk rokok, yang dianggap berbahaya bagi kesehatan, misalnya, turun 8%. Sebaliknya, alokasi pengeluaran untuk sumber protein –seperti daging, ikan, telor dan susu– meningkat 10%, dari semula 8,68% menjadi 9,57%.
Melejit, pengeluaran makanan-jadi
Jika alokasi pengeluaran rumah tangga dirinci menurut wilayah tempat tinggal (perdesaan dan perkotaan) tampak sejumlah perubahan yang menarik.
Pertama, alokasi pengeluaran untuk makanan-minuman-jadi melonjak, terutama di perdesaan. Pada periode yang sama, komponen belanja makanan-minuman-jadi pada rumah tangga perdesaan melonjak 18,4%, dari 12,3% menjadi 15,03%. Sementara pada rumah tangga perkotaan, kenaikannya hanya 4,5%.
Lonjakan besar pos pengeluaran makanan-minuman-jadi agaknya berkaitan dengan kemudahan distribusi yang kini memungkinkan berbagai makanan olahan bisa menjangkau daerah-daerah terpencil. Masuknya listrik ke desa-desa ikut mendorong tumbuhnya penyebaran kios-kios frozen food hingga ke kecamatan di pelosok.
Kedua, selain makanan-jadi, pengeluaran untuk pakaian dan alas kaki juga meningkat pada rumah tangga perdesaan, tapI menurun di perkotaan. Porsi pengeluaran pakaian jadi di perdesaan naik hampir tiga kali lipat dari 3,12% menjadi 9,43%, sedangkan di kota malah turun dari 3,01% menjadi 2,31%.
Dari sisi pasokan, peningkatan pengeluaran pakaian dan alas kaki agaknya ikut didorong oleh booming ecommerce, yang dimungkinkan oleh semakin meratanya jaringan internet dan kemajuan pada sektor distribusi logistik.