Terseok-Seok dengan Ekonomi Informal

JAKARTA — Para ahli menyebutnya sebagai ekonomi informal. Istilah ini merujuk pada kegiatan ekonomi usaha kecil yang tidak terdaftar, atau lebih tepatnya: tidak berbadan hukum.

Meski kecil dan “tidak resmi”, peran sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja tak bisa dianggap remeh. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2022 mencatat, tak kurang dari 80 juta pekerja Indonesia hidup dari sektor ini. Jumlah ini hampir 60% dari populasi penduduk yang bekerja.

Besarnya daya serap terhadap tenaga kerja terutama didorong satu hal: ekonomi informal tak memerlukan pekerja dengan kualifikasi keahlian atau keterampilan tertentu. Sektor ini dapat menampung seluruh tenaga kerja dari semua level pendidikan, yang paling rendah sekali pun.

Sektor informal bukan hanya menyelamatkan perekonomian dari bahaya pengangguran. Lebih dari itu: bisa menjadi “jaring pengaman” bagi mereka yang tidak sekolah dan tak punya keahlian.

Sejarah juga membuktikan, ekonomi informal kebal dari krisis, berkali-kali. Di masa-masa yang paling sulit sekali pun –krisis keuangan, krisis perbankan, krisis akibat pandemi– mereka sanggup bertahan, sehingga perekonomian terus berdenyut dan menggelinding.

Masalahnya, limpahan berkah ini harus dibayar mahal. Ekonomi informal cenderung mengabaikan standar perizinan — mungkin karena tak berbadan hukum. Mereka juga tak terekam pada satistik perekonomian, dan berada di luar sistem perpajakan.

Dan justru karena kualitas pekerjanya sangat rendah, usaha informal cenderung tak memenuhi aturan ketenagakerjaan, baik soal gaji, jam kerja, maupun cuti.

Akibatnya, pekerja sektor informal cenderung lebih miskin ketimbang pekerja formal, meskipun tingkat keterampilannya setara. Tingkat pendidikan yang rendah, dengan kualitas yang juga rendah, membuat pekerja sektor informal tidak punya daya tawar.

Untuk itu, pergeseran pekerja dari sektor informal ke sektor formal dinilai sangat mendesak. Ini merupakan salah satu agenda penting di negara-negara berkembang untuk mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga pekerja.

Jurus kunci: memangkas peran ekonomi informal

Sebenarnya, peran sektor informal pelan-pelan terus menyusut seiring pertumbuhan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) menaksir, sumbangan ekonomi informal terhadap PDB di emerging market telah turun dari 35% pada dekade 90an menjadi 28%. Di negara maju, porsinya malah tinggal 15%.

Meski demikian, pergeseran ini perlu dipercepat. Selain menghambat kesejahteraan pekerja, usaha informal yang tak menyumbang basis pajak, juga cenderung satgnan. Tetap kecil, tidak tumbuh. Produktivitasnya rendah, akses keuangannya juga terbatas.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi di negara dengan sektor informal dominan masih berada di bawah potensi yang sesungguhnya.

Salah satu ikhtiar untuk memacu pergeseran ekonomi dari informal ke formal adalah dengan mendorong investasi dunia usaha. Investasi akan meningkatkan demand pekerja formal.

Melalui investasi, dunia usaha mendongkrak kapasitas produksi. Ketika satu restoran membeli panggangan baru, misalnya, kapasitasnya untuk menyiapkan makanan bakal meningkat.

Dalam jangka pendek, investasi dunia usaha akan menaikkan PDB. Panggangan yang dipesan rumah makan tadi, atau mesin potong yang dibeli usaha konveksi, misalnya, toh harus diproduksi. Permintaan bahan baku makanan yang bakal dipanggang dan tekstil yang mau dipotong juga bakal ikut naik.

Dalam jangka panjang, investasi akan meningkatkan kapasitas ekonomi secara keseluruhan, memungkinkan lebih banyak produksi barang dan jasa. Ini yang mendorong pertumbuhan.

Investasi naik, pekerja formal mandeg

Data yang dihimpun Datanesia mencatat arus investasi dunia usaha di Indonesia terus menanjak — kecuali ketika pertumbuhan ekonomi ajlok di tahun pertama pandemi (2020).

Anehnya, peningkatan investasi ini, baik melalui modal asing maupun domestik, tak serta merta diimbangi dengan peningkatan porsi pekerja formal. Dari tahun 2010 hingga 2022, total investasi dunia usaha naik enam kali lipat, sedangkan porsi tenaga kerja formal hanya naik 7 persen poin atau 21% (lihat grafik).

Adakalanya, tambahan investasi memang tak mencetak lapangan kerja baru. Alat-alat produksi (modal fisik) akan aus dimakan waktu dan harus diganti saat rusak. Proses yang dikenal sebagai depresiasi ini membuat belanja modal (investasi) hanya mengganti modal fisik yang aus. Agar stok modal fisik meningkat, investasi harus melebihi tingkat depresiasi alat produksi.

Selain itu, investasi pada mesin-mesin otomat, justru mengurangi jumlah tenaga kerja yang terlibat. Otomasi di pabrik rokok misalnya, menyingkirkan ribuan tenaga kerja formal, yakni buruh linting.

Satu hal lagi: dari sisi supply, kualitas tenaga kerja kita, dari tahun ke tahun tak banyak berubah. Sakernas BPS mencatat, selama periode 2010 – 2022, porsi tenaga kerja lulusan D3/universitas hanya naik dari 8% menjadi 12% total tenaga kerja.

Bagian terbesar tenaga kerja kita masih berasal dari lulusan sekolah dasar (SD) dan mereka yang tidak pernah sekolah. Porsi lulusan SD/tak sekolah terhadap total tenaga kerja hanya turun sedikit dari 46% (tahun 2010) menjadi 37% (2022). Ini jelas tak memenuhi tuntutan dunia usaha di sektor formal.

Kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja agaknya akan jadi salah satu pekerjaan rumah terberat bagi pemerintah. Juga dunia usaha.

 

Peta Perdagangan Tembaga

Artikel sebelumnya

Menelisik Peta Pengangguran dan Pekerja

Artikel selanjutnya

Baca Juga