Tantangan Swasembada Beras dan Pangan Prabowo

JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto berjanji menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan menghadapi tantangan serius berupa impor beras. Belum lagi soal lahan pertanian yang menyusut.

Dalam pidato pertamanya usai pembacaan sumpah sebagai presiden di Gedung Parlemen Senayan, Minggu (20/10/2020), Prabowo menegaskan kembali janjinya mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. Bahkan ingin menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia.

“Saya yakin paling lambat 4 sampai 5 tahun kita akan swasembada pangan. Kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar,” kata Prabowo.

Indonesia menetapkan target swasembada beras pada 2027, sesuai “Peta Jalan Swasembada dan Ekspor Beras 2025-2029” yang dibuat oleh Kementerian Pertanian. Selain memenuhi kebutuhan pangan nasional, pemerintah juga ingin menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2029.

Mewujudkan mimpi swasembada beras, apalagi menjadikan Indonesia sebagai lumbung beras tentu bukan perkara mudah. Apalagi melihat neraca beras nasional yang belum membaik alias defisit. Konsumsi naik terus, sementara produktivitas stagnan. Impor beras menjadi jalan pintas.

Apesnya lagi, luas lahan pertanian di Indonesia semakin lama semakin menyusut. Diperkirakan ada sekitar 100 ribu hektare lahan sawah yang hilang setiap tahun akibat alih fungsi lahan. Pada tahun 2013-2019 misalnya, ada 664.551 hektare sawah menghilang.

Ketika lahan sawah kian menyusut, jumlah penduduk terus bertambah. Indonesia saat ini memiliki 281,6 juta jiwa penduduk dengan laju pertumbuhan 1,1% per tahun. Pada tahun 2033 diperkirakan ada sekitar 309,8 juta jiwa. Jumlah ini tentu harus diimbangi dengan peningkatan produksi beras.

Untuk mengejar ketimpangan produksi dengan konsumsi beras, pemerintah berniat memperluas areal pertanian melalui program cetak sawah seluas 3 juta hektare tahun 2025-2027. Program ini akan diwujudkan di Merauke Papua Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan.

Program ini pun tak berjalan lempang. Banyak kritik lantaran tak melibatkan masyarakat dan dampak kerusakan lingkungannya.

Kinerja produksi padi nasional tak pernah ajek. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya seperti perubahan iklim, luasan lahan, teknologi pertanian.

Menurut data Badan Pusat Statistik atau BPS (2023), produktivitas padi rata rata nasional masih sangat rendah, yaitu setiap hektare sawah hanya mampu menghasilkan 5,3 ton padi dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG)/hektare. Produktivitas ini hanya beranjak sedikit dari tahun 2019 yang sebesar 5,1 ton atau sekitar 43 kilogram GKG/hektare per tahun.

Riset dan inovasi teknologi seharusnya menjadi perhatian lebih agar mendongkrak produktivitas. Pusat Riset Genomik Pertanian di Sumatera Utara yang diresmikan pada 16 Oktober 2024 diharapkan bisa meningkatkan produktivitas pertanian nasional. Setidaknya, produktivitas nasional menempel produksi Vietnam yang mencapai 5,8 ton per hektare,

PR Pendidikan Presiden Prabowo

Artikel sebelumnya

Baca Juga