Skandal Gula dan Jatah Impor yang Bikin Ngiler

JAKARTA — Lama tenggelam tanpa kabar, topik gula tiba-tiba kembali muncul menjadi headline media nasional. Temanya masih sama seperti yang sudah-sudah: skandal impor.

Kali ini, Kejaksaan Agung mengendus dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan pemberian jatah impor antara tahun 2015 – 2023 yang tidak wajar.

Skandal impor gula bukan barang baru bagi sejarah Republik. Mirip penyakit kambuhan yang suka kumat, kasus impor dan distribusi gula selalu timbul secara berkala. Terakhir, tujuh tahun lalu, anggota DPD Irman Gusman divonis 4,5 tahun gara-gara menerima suap dari distributor gula.

Mengapa kita tak pernah terbebas dari skandal gula?

Selama ini, kita mengimpor gula terutama untuk memenuhi kebutuhan industri. Jika merujuk data BPS, setidaknya selama satu dasa warsa terakhir, produksi gula lokal hampir selalu dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga – kecuali pada 2016 dan 2017.

Sementara itu, kebutuhan industri akan dipenuhi dengan impor.

Nah, di sinilah barangkali letak masalahnya. Selisih harga gula di pasar internasional dan domestik sungguh menggiurkan. Potensi keuntungan dari impor gula benar-benar bikin ngiler.

Penelusuran Datanesia mencatat, selama satu dasawarsa terakhir, harga gula di pasar domestik minimal 2,44 kali dari harga internasional. Selisih tertinggi terjadi pada 2020 ketika harga domestik mencapai 3,75 kali harga gula di pasar dunia.

Kala itu, harga gula di pasar domestik Rp15.300 per kilogram, sedangkan harga internasional Rp4.082 per kg. “Ibaratnya,” kata seorang pemain gula, “importir hanya bayar satu ton untuk dapat tiga ton, bahkan kadang sampai empat ton.”

Jika selisih harga dikalikan volume gula impor, maka potensi marginnya luar biasa. Pada 2020, misalnya, potensi keuntungan dari impor gula mencapai Rp62 triliun. Jika dipotong ongkos angkut, dan barangkali setor kanan kiri, jumlah sisanya masih fantastis.

Tahun 2020, tahun awal pandemi, agaknya memang jadi tahun istimewa bagi para pemain gula. Mulai tahun itu, pemerintah mengizinkan industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku dapat mengimpor gula secara langsung, tanpa melalui Bulog.

Untuk menjaga produsen gula lokal dari serbuan gula impor yang jauh lebih murah, kebijakan impor langsung ini tentu saja dipagari sejumlah rambu ekstraketat. Salah satunya: industri harus mendapatkan Izin impor dari Kementerian Perdagangan berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Bersamaan dengan pembukaan keran impor itu, volume impor gula seketika melonjak. Di tengah pandemi, impor gula pada 2020 mencapai 5,54 juta ton, naik 35% ketimbang 2019 yang hanya 4,09 juta ton.

Lonjakan kolosal ini tentu saja jadi tanda tanya. Benarkah kebutuhan industri pada bahan baku gula melonjak secepat itu? Di masa pandemi pula? Ini yang meragukan.

Laporan keuangan perusahaan yang berbasis gula justru mencatat, tingkat penjualan di tahun pertama pandemi itu, justru melorot.

PT Indofood Sukses Makmur, yang memproduksi Indomilk, susu Cap Enak, dan Indoeskrim misalnya. Pada 2020, penjualan segmen minuman pada Indofood hanya Rp1,26 triliun, anjlok 33% dari tahun sebelumnya.

Begitu pula PT Mayora Indah. Pada tahun yang sama, penjualan segmen minuman pada produsen Teh Pucuk ini hanya Rp11,47 triliun, turun 10% dari 2019.

Penurunan pendapatan juga dicatatkan oleh industri berbahan gula lain, misalnya produsen es krim PT Diamond Food Indonesia yang penjualannya turun 12%. Begitu juga sales dari PT Champina Indonesia dan PT Ultrajaya Milk yang masing-masing turun 7% dan 4%.

Jadi kemana larinya gula impor jutaan ton itu? sulit dijawab. Barangkali itu sebabnya Kejaksaan Agung kembali mengarahkan teropong penyelidikannya ke regulator dan pemain gula impor.

Waswas Target Cukai Rokok

Artikel sebelumnya

Booming Cities Indonesia 2023

Artikel selanjutnya

Baca Juga