JAKARTA — Kenaikan harga bahan bakar tak mungkin dibendung lagi. Aba-abanya sudah berdering nyaring, sejak sepekan terakhir. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, negara tak mungkin terus-terusan nombok, menjaga agar harga BBM tetap murah, karena duit negara sangat terbatas.
Tahun ini, pemerintah sudah menambah anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) menjadi Rp502 trilyun – tiga kali lipat dari yang semula direncanakan. Jika konsumsi masyarakat atas BBM tidak berubah, pemerintah harus menambal Rp195 trilyun lagi.
Jika itu terjadi, subsidi energi tahun ini akan mencapai Rp700 trilyun, hampir sepertiga dari total anggaran penerimaan negara. Ini akan menjadi rekor subsidi energi paling besar, paling kolosal dalam sejarah Republik.
Dengan beban seberat itu, keuangan negara seperti tercekik. Selain subsidi energi, ada pos-pos bujet lain yang sudah dipatok penggunaannya, tak bisa diganggu gugat. Ada transfer dana ke daerah yang nilainya Rp800 trilyun atau 35% dari penerimaan negara; ada pula pos untuk bayar utang (Rp400 trilyun, 18%); dan bayar gaji pegawai (Rp400 trilyun, 18%).
Untuk empat pos itu saja, keuangan negara sudah minus. Belum lagi anggaran pendidikan yang oleh undang-undang sudah ditetapkan nilainya 20% dari total belanja negara. Masih ada pula biaya untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN), biaya penanganan pandemi yang belum rampung, serta pos-pos biaya pembangunan lainnya.
Jika subsidi tak diperketat, pos-pos lain mau tak mau harus disunat. Gaji pegawai barangkali perlu dipangkas, atau pembangunan IKN musti ditunda. Pemangkasan ini kudu dilakukan karena negara tak bisa lagi menambah utang, setidaknya untuk sementara. Mulai tahun depan, undang-undang kembali membatasi defisit anggaran hingga maksimal 3% dari output ekonomi nasional atau PDB.
Warga Dunia Paling Istimewa
Selama ini, setidaknya enam bulan terakhir, kita memang dimanjakan seolah menjadi warga dunia paling istimewa. Bayangkan, ketika masyarakat di belahan bumi yang lain terbongkok-bongkok menanggung biaya bahan bakar, kita malah menikmati harga yang superduper murah.
Sampai hari ini, harga Pertalite hanya Rp7.650 per liter, sedangkan di Amerika Serikat (AS) harganya lebih dari dua kali lipat. Begitu pula di Vietnam dan Filipina, dua negara yang “sekelas” dengan kita.
Bahkan di India, negara yang pendapatan per kapitanya hanya separuh dari Indonesia, harga bensin termurah mencapai Rp18.000 per liter. Juga Arab Saudi. Negara penghasil minyak kedua terbesar dunia dengan produksi 12,4 juta barel per hari ini mematok harga bensin pada Rp9.200 per liter – lebih mahal dari Indonesia.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, harga minyak mentah melonjak. Embargo negara-negara Eropa terhadap produk Rusia membuat minyak dan gas asal Negara Beruang Merah itu kesulitan masuk pasar.
Akibatnya, pasokan minyak ke pasar dunia seret. Harga minyak mentah melambung 35% dari US$89 per barel pada akhir Februari 2022 menjadi US$120 per barel, dua pekan kemudian.
Lonjakan itu memaksa produsen bahan bakar di banyak negara langsung menaikkan harga bensin di pasaran. Untunglah kita hidup di Indonesia. Demi mengendalikan inflasi, pemerintah memutuskan untuk menomboki selisih harga minyak itu, dengan menambah anggaran subsidi sampai tiga kali lipat. Meski harga Pertamax naik 39% dari Rp9.000 menjadi Rp12.500 per liter awal April lalu, masih ada pilihan lain: Pertalite yang membuat kita menjadi warga istimewa di dunia.
Bye-Bye Minyak Murah
Sejak Juli, harga minyak mentah dunia sebenarnya sudah kembali turun. Minyak Rusia yang semula kesulitan masuk pasar, diam-diam punya jalan keluar. Rusia menawarkannya ke negara-negara Asia, dengan harga diskon.
Tawaran ini disambut hangat oleh sejumlah negara yang tak terikat dengan “kewajiban” embargo. Ekonomi lagi sulit, minyak mahal, ini ada barang diskon — mau apa lagi. Pasar minyak dunia yang semula tegang kesulitan pasokan, kini kembali mengendor.
Tapi, apakah dengan demikian harga minyak akan terus menyusut hingga kisaran US$40 – US$60 per barel seperti sebelum pandemi?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Harga minyak punya kapasitas untuk membuat kejutan. Bisa melonjak atau anjlok. Tiba-tiba, di luar dugaan.
Menaksir harga minyak selalu rumit karena banyak hal yang harus masuk “kalkulator”. Harga bisa anjlok lebih jauh jika minyak Iran diizinkan masuk pasar. Selain itu, kenaikan suku bunga dollar yang berkelanjutan –seperti tekad The Federal Reserve—bisa pula mendorong resesi, atau setidaknya menurunkan permintaan.
Sebaliknya, harga minyak bisa menanjak jika konsumsi Cina kembali meledak seperti sebelum pandemi. Hal-hal lain bisa ikut memberi pengaruh. Misalnya, ekspektasi (dan spekulasi) para trader, nasib negara-negara produsen yang politiknya kurang stabil seperti Venezuela, Nigeria dan Libya. Juga: keputusan untuk melakukan investasi di hilir migas, baik yang dilakukan oleh negara maupun swasta.
Repotnya, untuk saat ini, kompleksitas dari faktor-faktor di atas, sulit untuk diukur.
Meski cenderung turun, harga minyak mentah dunia diperkirakan tak akan jauh-jauh dari kisaran US$80 – US$100 per barel seperti sekarang, setidaknya sampai tiga tahun ke depan. Saat ini, kita berada dalam super cycle (siklus jangka panjang) ketika demand melebihi tingkat pasokan akibat lemahnya investasi sejak 2014, menyusul harga minyak yang lesu.
Pada harga minyak mentah seperti sekarang, Menteri Sri Mulyani mengatakan, Pertalite dan solar seharusnya masing-masing dihargai Rp14.450 dan Rp13.950 per liter, atau dua kali dari harga yang kita bayar di pompa bensin.
Dengan hitung-hitungan itu, harga bensin dan solar tak mungkin bisa semurah sekarang. Mustahil. Era bahan bakar murah, sudah berlalu. Dampak kenaikan harga bahan bakar dapat dikurangi dengan memberikan bantuan langsung kepada kelompok masyarakat terbawah.
Masalahnya, apakah pemerintah akan mengambil keputusan yang semata-mata menggunakan pertimbangan ekonomi? Selain ancaman inflasi, sebentar lagi kan pemilu…