JAKARTA – Penggalan lirik Lagu Petani karya Iksan Skuter agaknya cocok menggambarkan nasib petani di Indonesia: tak kaya, miskin rezeki.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat; tingkat upah sektor pertanian selalu berada di bawah rata-rata upah nasional. Bersama dengan sektor jasa-lainnya, bidang pertanian tak pernah beranjak dari kelas terbawah urutan upah pekerja secara sektoral.
Sebaliknya, pemegang tropi upah tertinggi (setidaknya lima tahun terakhir) dikuasai tiga sektor: pertambangan dan penggalian; keuangan dan asuransi; serta informasi dan komunikasi.
Per Agustus 2024, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian hanya Rp2,41 juta, atau 36 persen di bawah rata-rata nasional yang mencapai Rp3,27 juta per bulan.
Upah pekerja pertanian tak sampai separuh dari rata-rata upah pekerja di sektor pertambangan dan penggalian serta sektor keuangan dan asuransi yang masing-masing mencapai Rp5,2 juta dan Rp5,1 juta per bulan.
Upah buruh tani, buruh kebun, dan buruh nelayan hanya lebih baik dari tukang semir sepatu, tukang parkir, atau tukang gali kubur yang termasuk dalam kelompok sektor jasa lainnya. Sektor jasa-lain berada di urutan paling buncit, dengan upah rata-rata Rp2 juta per bulan.
Kendala produktivitas
Meski ada aturan soal upah minimum, rata-rata tingkat upah di setiap sektor usaha sangat beragam. Penyebabnya banyak. Yang pertama tentu saja soal supply dan demand.
Pekerjaan di sektor pertanian dan jasa-lainnya cenderung tak membutuhkan keterampilan dan keahlian khusus. Hampir semua orang dapat mengerjakan — bahkan mereka yang punya pendidikan.
Itu sebabnya, tingkat pasokan tenaga kerja kedua sektor ini relatif melimpah. Sektor pertanian dikenal sebagai spons raksasa yang mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang tak tertampung di sektor lain. Maklum jika daya tawar pekerjanya sangat lemah.
Selain itu, ada juga faktor kapasitas modal dan struktur usaha. Meski sudah banyak perusahaan perkebunan besar, mayoritas usaha pertanian di Indonesia masih dioperasikan dalam skala rumah tangga, yang tergolong usaha mikro kecil dan termasuk sektor informal.
Dibandingkan sektor formal yang terikat dengan aturan upah minumum, jaminan sosial dan segala macam, sektor informal lebih leluasa dan menentukan upah dan hak-hak pekerja.
Yang terakhir, terkait dengan produktivitas. Sektor pertanian dan jasa-lainnya termasuk dalam sektor dengan produktivitas tenaga kerja paling rendah.
Tahun 2023, produktivitas kedua sektor itu masing-masing hanya Rp66 juta dan Rp63 juta per tahun, jauh di bawah produktivitas tenaga kerja nasional yang mencapai Rp149 juta.
Rendahnya produktivitas di sektor pertanian terutama disebabkan karena banyaknya pekerjaan yang belum diotomasi. Menanam padi, memupuk, menyiangi, dan bahkan memanen, masih banyak dilakukan secara manual.
Akibatnya, tingkat output per tenaga kerja jauh lebih rendah ketimbang sektor manufaktur, pertambangan, atau keuangan yang sudah dilengkapi dengan alat-alat berat, mesin-mesin serba otomatis, dan teknologi digital.
Besarnya ketergantungan terhadap berkah alam (iklim, kondisi tanah, ketinggian lahan, suhu) yang sulit dikontrol juga ikut menyumbang rendahnya produktivitas sektor pertanian.