JAKARTA – Pernah sebal melihat orang pakai emas bererot di sekujur tubuh sampai tampak seperti toko emas berjalan? Jangan keburu menghakimi. Bagi sebagian kelompok masyarakat, emas memang bukan sekadar perhiasan atau lambang kemakmuran, tapi juga simbol kekuatan, kekuasaan, bahkan spiritualitas.
Sejak zaman prasejarah emas telah jadi bagian penting dari identitas budaya, baik sebagai elemen seni, alat ritual, bahkan juga sebagai koin alat tukar dalam perdagangan.
Masyarakat Mesir kuno meyakini emas dapat melindungi jiwa firaun (sebutan untuk raja-raja Mesir Kuno) dalam perjalanan ke alam baka.
Masyarakat Aztec di Amerika Tengah meyakini emas sebagai “keringat matahari”, mungkin karena warnanya serupa, dan digunakan dalam upacara korban untuk menghormati para dewa.
Di zaman modern, fungsi emas sebagai elemen spiritual yang sakral mungkin telah menyusut, tapi perannya dalam kehidupan sehari-hari justru terus meningkat.
Selain sebagai perhiasan dan elemen upacara adat, emas kini juga lazim dipakai sebagai instrumen investasi atau pelindung aset karena nilainya yang cenderung stabil, tak tergerus inflasi.
Bank sentral juga menggunakannya sebagai salah satu cadangan untuk meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian.
Barangkali karena telah berakar dalam berbagai tradisi, kepemilikan emas merupakan hal lazim bagi masyarakat Indonesia — berbeda dengan instrumen investasi keuangan seperti rekening bank atau saham yang cenderung eksklusif.
Meski banyak kasus penipuan dan emas palsu, perdagangan emas lebih mudah dipahami masyarakat awam. Kemudahan ini ikut mendorong tumbuh suburnya pasar emas, baik dalam bentuk perhiasan maupun batangan.
Perlindungan konsumen
Survei Ekonomi Nasional Maret 2023 mencatat, terdapat satu dari tiap lima rumah tangga Indonesia yang menyimpan emas 10 gram atau lebih.
Jika ditilik lebih rinci, lebih dari separuh rumah tangga di sejumlah daerah, menyimpan emas minimal 10 gram.
Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, misalnya, porsi rumah tangga yang menyimpan emas mencapai 61 persen. Begitu pula di Kabupaten Wajo (58 persen), dan Kabupaten Sidenreng Rappang (51 persen). Ketiga wilayah penggemar emas ini berada di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Secara total, sekitar 30 persen rumah tangga di Sulsel menyimpan emas minimal 10 gram. Porsi ini sekitar satu setengah kali dari rata-rata nasional.
Walau tak sekuat Sulsel, tradisi kepemilikan emas juga mengakar kuat di Nangroe Aceh Darussalam dan Bali.
Besarnya pasar dan popularitas emas, baik sebagai simpanan kekayaan, wahana investasi, maupun perhiasan, memerlukan regulasi yang dapat melindungi konsumen dari berbagai praktik penipuan berbasis emas. Rencana pendirian bank bullion bisa membantu mengakomodasi soal ini.