JAKARTA — Bagi keuangan daerah, “luka” akibat pandemi ternyata lebih mudah sembuh. Dua tahun setelah status pandemi diumumkan pada Maret 2020, pos penerimaan di kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali cenderung terus meningkat, bahkan kini telah melampaui posisi sebelum pandemi.
Data pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan mencatat, dari 123 kabupaten/kota di seluruh Jawa dan Bali, terdapat 90 daerah (73%) yang pendapatannya pada tahun 2021 naik melampaui posisi sebelum pandemi (2019), dan hanya 33 daerah (27%) yang turun.
Bahkan, selama periode itu, terdapat sembilan daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) melonjak lebih dari 50%. Lompatan pendapatan tertinggi berhasil dicatatkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dengan PAD melambung dua kali lipat lebih, dari Rp 981 miliar pada 2019 menjadi Rp 1.988 miliar pada 2021.
Catatan gemilang Gresik itu berturut-turut disusul oleh dua daerah lain di Jawa Timur yakni Kabupaten Tulungagung dengan PAD naik 96% dan Kabupaten Pamekasan (naik 88%) — serta satu daerah di Jawa Barat yaitu Kabupaten Pangandaran dengan kenaikan PAD hingga 86%.
Meski selama pandemi mobilitas sosial dibatasi, beberapa daerah ini berhasil mencatatkan peningkatan pendapatan pajak yang istimewa. Penerimaan pajak di Kabupaten Gresik, misalnya, naik dua kali lipat lebih dari Rp 642 milyar menjadi Rp 1.443 milyar. Sukses serupa juga dicatatkan oleh Kabupaten Pamekasan dengan pendapatan pajak pada 2021 mencapai Rp 77 milyar, naik dari Rp 44 milyar (2019).
Sulit dibantah, kenaikan pendapatan daerah di beberapa wilayah selama masa pandemi rata-rata juga disumbangkan oleh lonjakan pos “lain-lain pendapatan asli daerah yang sah”. Di Kabupaten Pamekasan, misalnya, pos lain-lain ini naik dua kali lipat dari Rp 156 milyar (2019) menjadi Rp 313 milyar (2021).
Begitu juga di Kabupaten Tulungagung dengan pos “lain-lain” yang melambung hampir tiga kali lipat menjadi Rp 814 milyar. Menurut portal Kementerian Keuangan, pos lain-lain terdiri dari dana hibah, dana darurat, dan lain-lain.
Meski pendapatan daerah pascapandemi cenderung meningkat, ketergantungan daerah terhadap dana pusat tetap sangat besar. Ini tampak dari kecilnya porsi PAD di dalam total Penerimaan Daerah. Bahkan di wilayah Jawa dan Bali yang terhitung lebih “mandiri” ketimbang daerah lain, sebagian besar Penerimaan Daerah masih bersumber dari transfer dana dari pusat, atau yang biasa disebut sebagai TKDD (transfer ke daerah dan dana desa).
Sumber data yang sama mencatat, dari seluruh wilayah di Pulau Jawa dan Bali, hanya ada tiga kabupaten/kota yang sumbangan PADnya lebih dari separuh (50% lebih) Penerimaan Daerah. Tiga daerah itu masing-masing Kabupaten Badung, Bali, dengan porsi PAD mencapai 65% dari total Penerimaan Daerah; kemudian disusul oleh DKI Jakarta (porsi PAD 63%), dan Kota Surabaya (59%).
Selebihnya, 120 wilayah masih bergantung kepada dana transfer dari pusat, meski untuk beberapa daerah, tingkat ketergantungan tergolong rendah. Kota Semarang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tengarang, misalnya, sumbangan PAD terhadap Penerimaan Daerah, berturut-turut telah mencapai 49%, 48%, dan 47%.
Peta di atas menunjukkan tingkat kemandirian fiskal daerah yang diukur dari porsi PAD terhadap toal Penerimaan Daerah. Area dengan warna merah tua menunjukkan wilayah yang sangat tidak mandiri, yang masih banyak disuapi dana pusat, dengan prosi PAD di bawah 10% dari pos Penerimaan Daerah. Sebaliknya, area hijau menujukkan wilayah yang lebih mandiri secara finansial.