JAKARTA – Penguatan sektor kesehatan dalam negeri masih menjadi pekerjaan rumah besar. Hingga saat ini belum tampak dari mana memulainya. Sektor-sektor di industri kesehatan yang menjadi prioritas tampak belum terurai. Pemetaan manajemen rantai pasok (supply chain management) dalam sektor kesehatan di Indonesia menjadi sangat penting.
Banyak studi yang menyebutkan, manajemen rantai pasokan layanan kesehatan meliputi perolehan sumber daya, pengelolaan persediaan, dan pengiriman barang dan jasa kepada penyedia dan pasien. Untuk menyelesaikan proses, barang fisik serta informasi tentang produk dan layanan medis biasanya disediakan melalui sejumlah pemangku kepentingan, termasuk produsen, perusahaan asuransi, rumah sakit, penyedia, organisasi pembelian kelompok, dan beberapa badan pengatur.
Berdasarkan fungsinya, pemangku kepentingan dalam rantai pasok layanan kesehatan dapat dibagi menjadi empat kelompok: produsen, pembeli, distributor, dan penyedia. Selain sektor kesehatan secara umum, terdapat rantai pasok pada komponen lainnya, seperti farmasi dan obat-obatan, bank darah, hingga keselamatan pasien (patient safety). Semuanya mengarah pada kualitas perawatan yang lebih baik dan mendukung keselamatan pasien.
Besarnya impor produk farmasi dan alat kesehatan, selain memperlihatkan kerentanan juga dapat menjadi peta awal mengurai masalah ketahanan kesehatan di Tanah Air. Dari sisi bisnis, tentu ini juga menjadi peluang.
Oleh karena itu, untuk merealisasikan tujuan penguatan sektor kesehatan nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor, terutama untuk produk obat-obatan, pemerintah perlu membuka peluang investasi yang besar pada sektor tersebut. Bersamaan dengan itu, kemudahan prosedur untuk mendorong masuknya investasi ke sektor kesehatan juga penting.
Berdasarkan data World Bank, Indonesia merupakan negara ketiga dengan porsi anggaran kesehatan terendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai negara yang digadang menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050, porsi anggaran kesehatan terhadap PDB hanya sebesar 2,9% selama tiga tahun berturutturut sejak 2017 tanpa ada peningkatan.
Angka tersebut bahkan jauh di bawah Kamboja yang porsinya mencapai 7% pada tahun 2019. Hal ini berkontribusi pada lambatnya perkembangan sektor kesehatan di Indonesia.
Tidak hanya itu, realisasi investasi untuk sektor kesehatan juga cukup rendah, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada 2020, realisasi investasi dalam negeri untuk sektor kesehatan yang dicerminkan oleh industri kimia dan farmasi mencapai Rp22,5 triliun, meningkat 138% dari 2019. Kemudian pada 2021, angkanya mencapai Rp23,4 triliun, tapi hanya 5,2% dari total PMDN yang Rp447 triliun.
Tak jauh berbeda, realisasi PMA untuk sektor yang sama juga tidak mengalami perkembangan berarti. Pada 2021, angkanya mencapai US$1,66 miliar, menyusut dari US$1,74 miliar pada tahun sebelumnya. Porsinya pun hanya sebesar 5,3% dari total realisasi PMA yang US$31 miliar.
Untuk mendukung gairah penanaman modal di sektor kesehatan, tak berlebihan jika pemerintah menyediakan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Sekadar contoh, fasilitas berupa pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), pengurangan pajak penghasilan untuk penanaman modal (tax allowance), insentif pengurangan pajak super (super tax deduction), serta bea impor.
Jangan lupa: biaya mahal di sektor kesehatan akan berdampak pada beban anggaran pemerintah juga, karena harus mengalokasikan subsidi bagi lebih dari 100 juta warga. Untuk itu, kemandirian menjadi sangat penting.