Menghidupkan Kembali Poros Maritim

JAKARTA – Cerita tentang poros maritim yang sempat redup mencuat kembali dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025. Kebijakan yang dilansir pada 4 Maret 2022 ini dikenal dengan istilah KKI atau Kebijakan Kelautan Indonesia jilid II.

Presiden Joko Widodo seolah ingin menegaskan kembali janjinya pada masa kampanye tentang misi membangun poros maritim dunia. Karena itu, pada intinya, misi tersebut bertujuan: menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat dan makmur.

Upaya mewujudkannya dilakukan dengan mengembalikan identitas Indonesia sebagai bangsa maritim serta pengamanan kepentingan dan keamanan maritim. Tak kalah pentingnya, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi.

Gagasan membangun tol laut yang menjadi penopang visi poros maritim telah diluncurkan pada November 2015 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tol laut merupakan penyelenggaraan angkutan laut secara tetap dan teratur yang menghubungkan pelabuhan pengumpan (feeder) dan pelabuhan perintis dari Sumatera hingga ke Papua secara merata, manfaat ekonomisnya menyebar.

Pembangunan tol laut ini, antara lain dilatarbelakangi adanya disparitas harga yang cukup tinggi antara wilayah barat dan timur Indonesia. Pangkal masalahnya adalah transportasi laut yang mahal lantaran tidak adanya muatan balik setelah mengantar barang. Hal itu, terutama terjadi pada wilayah-wilayah yang pertumbuhan ekonominya rendah, seperti di Kawasan Timur Indonesia.

Pembangunan tol laut juga ditujukan untuk mengembangkan pelabuhan hubungan internasional di daerah-daerah terluar. Upaya mengintegrasikan Indonesia dengan sistem jaringan logistik regional dan global.

Meski demikian, pembangunan tol laut untuk mendukung sistem jaringan logistik regional dan global itu tak lepas dari masalah. Hasil audit Kementerian Perhubungan pada 2018 misalnya, menyebutkan adanya 33 pelabuhan mangkrak yang pembangunannya sudah menghabiskan biaya Rp2,8 triliun.

Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan Wahju S. Utomo mensinyalir setidaknya ada dua penyebab kondisi miris itu terjadi: pembangunan tidak selesai dan terbengkalai, atau pembangunan sudah selesai tapi tidak dioperasikan hingga saat ini.

Apa pun temuannya, tentu penting sebagai evaluasi. Apalagi, Presiden sudah meluncurkan Kebijakan Kelautan Indonesia jilid II.

 

Terkonsentrasi di Tanjung Priok

Tentu bukan tanpa alasan Presiden Jokowi Widodo bersemangat membangun laut. Indonesia memiliki wilayah perairan yang lebih luas ketimbang daratan.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Rincian wilayah itu: 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia.

Sebagai negara maritim, tentunya pelabuhan memiliki peran strategis. Pelabuhan berperan sebagai ferry, yang mengerjakan kegiatan penyebrangan. Sebagai titik temu antara transportasi darat dan laut, peranan pelabuhan menjadi sangat vital dalam mendorong pertumbuhan perekonomian, terutama daerah.

Pelabuhan juga dapat berperan sebagai transit, yang mengerjakan kegiatan transhipment cargo. Karena itu, pelabuhan tak terpisahkan dari rantai perdagangan, baik perdagangan antarpulau maupun internasional. Terlebih, Indonesia juga memiliki letak yang strategis di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Hindia.

Peran penting pelabuhan dalam aktivitas transportasi dan logistik, terutama untuk barang komoditas ekspor, tercermin dari intensitas bongkar muat barang di pelabuhan. Hingga 2020, aktivitas bongkar muat barang, baik antarpulau maupun antarnegara terus mengalami peningkatan.

Download Edisi White Paper

Mesin Ekonomi Loyo di Tengah Kenaikan Ongkos

Artikel sebelumnya

Apa Kabar Kelas Menengah Indonesia?

Artikel selanjutnya

Baca Juga