JAKARTA–Presiden Prabowo Subianto menetapkan anggaran untuk program makan bergizi gratis Rp10.000, turun 33 persen dari rencana semula Rp15.000. Cukupkah?
Presiden menyatakan bujet sebesar itu sudah dapat menyajikan makanan yang “cukup bermutu dan bergizi”.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menambahkan pemerintah telah melakukan uji coba selama hampir satu tahun di Jawa. Kesimpulannya, “Cukup memenuhi 600-700 kalori per sajian, dengan harga maksimal Rp10.000.”
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menegaskan, bahkan jika anggaran dipangkas lagi hingga tinggal Rp7.500 sekalipun, sudah lebih dari cukup. “Saya kira untuk daerah tertentu, Rp7.500 sudah sangat besar,” katanya.
Perdebatan pun memanas karena harga pangan di tiap daerah berbeda-beda. Harga pangan di Jawa yang padat penduduk (pasar besar), dengan jaringan jalan yang memadai dan dekat dengan pusat produksi beras, ayam, dan daging, cenderung lebih murah ketimbang luar Jawa yang pasarnya tersebar, prasarana transportasinya terbatas, dan jauh dari sentra produksi pangan.
Hanya cukup di 10 provinsi
Untuk memetakan harga pangan di Indonesia, Datanesia mencoba mengolah data belanja makanan di 38 provinsi berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS).
Hasil survei ini menggarisbawahi bahwa belanja makanan di setiap daerah memang sangat beragam. Selisih harga di wilayah termahal dengan yang termurah lebih dari dua kali lipat.
Untuk tahun 2024, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah dengan belanja makanan termurah, yaitu Rp541.000 per kapita per bulan, dan Papua Pegunungan menjadi yang termahal (Rp1,158 juta).
Bahkan di DKJ Jakarta, wilayah padat penduduk dengan sarana transportasi paling lengkap di Indonesia, belanja makanan mencapai Rp1,108 juta per kapita per bulan.
Dengan asumsi penduduk Indonesia makan tiga kali sehari, maka anggaran untuk belanja makanan di sebagian besar wilayah masih di bawah Rp10.000 setiap kali makan.
Hanya lima daerah dengan belanja makanan lebih dari Rp10.000 per porsi, yaitu Papua Pegunungan, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur.
Jadi cukupkah bujet Rp10.000 untuk makan bergizi? Tunggu dulu. Belanja makanan dalam survei BPS merujuk pada semua belanja makanan, termasuk bahan mentah yang belum dimasak.
Jika anggaran Rp10.000 diberikan dalam bentuk tunai, dan ditransfer langsung ke rekening penerima, barangkali memang memadai untuk belanja makanan.
Masalahnya, tak ada yang dapat memastikan bahwa bantuan tunai itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi — sesuai dengan tujuan program ini.
Kecukupan gizi hanya bisa dipastikan jika bantuan diberikan dalam bentuk makanan siap santap. Untuk itu, dalam bujet perlu ditambahkan biaya untuk pengolahan makanan (ongkos masak), biaya pengiriman, plus marjin keuntungan dari pengelola.
Katakanlah ketiga pos biaya ini masing-masing mengutip 10 persen dari anggaran, maka bujet yang tersisa untuk belanja bahan maksimal hanya Rp7.700 per porsi.
Dengan anggaran sebesar itu, hanya 10 dari 38 provinsi di Indonesia yang dapat menjalankan program ini. Di antaranya NTT, hampir seluruh wilayah di Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), Maluku, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Di luar itu, 28 provinsi yang lain, mau tak mau harus ada tambahan bujet – atau menunggu sampai anggaran negara memungkinkan.