Konsumsi Semen Bergeser ke Timur

JAKARTA — Konsumsi semen kerap dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Di negara-negara emerging market, yang sedang tumbuh pesat, seperti Cina, Indonesia, atau Vietnam, konsumsi semen lazimnya terus menanjak.

Pertumbuhan ini sejalan dengan investasi besar-besaran pada infrastruktur, properti, dan berbagai proyek fasilitas publik guna memenuhi kebutuhan urbanisasi yang makin deras. Jembatan layang dibangun, begitu pula jalan tol, jalur subway, atau bendungan. Proyek-proyek apartemen ditegakkan, juga kantor, mall, sekolah, rumah sakit, serta kompleks perumahan.

Di negera-negara yang cepat tumbuh ini, tingkat konsumsi semen setara –bahkan lebih besar, bisa dua atau tiga kali– dengan/dari pertumbuhan total output ekonomi alias produk domestik bruto (PDB).

Sebaliknya, di wilayah yang sudah lebih mapan, seperti di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa Barat, tingkat konsumsi semen cenderung mandek, atau malah melandai. Mudah dipahami, investasi infrastruktur di wilayah ini cenderung sudah “mendingin”. Arus urbanisasi juga bisa disebut sudah jenuh atau rampung.

Pola seperti itu, tumbuhnya konsumsi semen di emerging market tapi mandek di negara maju, memang tak selamanya ajeg. Ada kalanya berubah. Misalnya, ketika terjadi peristiwa besar yang membutuhkan lebih banyak pembangunan konstruksi, seperti bencana alam yang merusak banyak fasilitas publik. Atau terdapat event olah raga, seperti olimpiade, yang memerlukan lebih banyak pembangunan venue dan prasarana lain.

Dengan melihat pola konsumsi semen selama beberapa tahun terakhir di sejumlah negara, para pengamat menengarai semacam treshold: konsumsi semen akan terus meningkat sampai pendapatan per kapita suatu negara mencapai US$ 25.000 per tahun.

Setelah pendapatan per kapita melampaui ambang batas ini, konsumsi semen akan cenderung turun dan menuju tingkat yang stabil, yaitu pada kisaran 600 kilogram per kapita per tahun.

Sejauh ini, hanya ada beberapa negara yang melenceng dari pakem ini. Di antaranya, Singapura, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Di Singapura, misalnya, setelah mencapai treshold pendapatan per kapita US$ 25.000 pada 2005, konsumsi semen turun dari 958 kg menjadi 690 kg per kapita – tidak jauh dari kisaran “konsumsi stabil” 600 kg per kapita per tahun.

Dua tahun berikutnya 2006 – 2007, konsumsi semen Singapura cenderung stabil, meski pendapatan per kapita terus tumbuh. Namun sejak 2008, ketika Singapura merampungkan konstruksi sirkuit balap Formula-1, konsumsi semennya terus merambat naik hingga melampaui batas konsumsi stabil. Pada 2021 konsumsi semen per kapita di Singapura sudah melampaui 2.100 kg per tahun.

Anomali Singapura terutama disebabkan karena komitmen pemerintah mengalokasikan anggaran besar-besaran untuk membangun fasilitas publik, seperti tambahan jalur MRT, proyek perumahan, rumah sakit, dan kampus-kampus.

Menurut CW Research, sebuah lembaga riset berpusat di AS, konsumsi semen dunia pada 2020 mencapai 3,9 miliar ton. Dengan jumlah penduduk dunia 7,75 miliar jiwa, konsumsi semen per kapita dunia kini mencapai 503 kg per tahun.

Di Indonesia, data Asosiasi Semen Indonesia menunjukkan, konsumsi semen pada 2021 mencapai 243 kg per kapita per tahun, atau tak sampai separuh dari rata-rata konsumsi dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asean, konsumsi semen kita juga masih tergolong sangat rendah. Hanya sepertiga dari Malaysia dan Vietnam, atau sekitar separuh dari Thailand.

Jika dilihat lebih rinci, konsumsi semen Indonesia masih berpusat di Pulau Jawa. Dari 65,58 juta ton konsumsi semen nasional pada 2021, lebih dari separuhnya (34,85 juta ton atau 53,14%) merupakan konsumsi semen di Pulau Jawa. Sumatra hanya mengonsumsi 21,58% dari total nasional, menyusul kemudian Sulawesi (10,03%), Bali dan Nusa Tenggara (5,55%), serta Maluku Papua (3,17%).

Namun jika kita mencermati konsumsi semen antarwilayah dalam jangka yang lebih panjang, akan terlihat pola yang menarik. Dalam 12 tahun terakhir, tampak bahwa denyut pembangunan Indonesia kini mulai bergeser ke arah timur.

Porsi konsumsi semen di Sulawesi, Maluku, dan Papua cenderung terus meningkat, sedangkan Jawa dan Sumatra menurun. Antara 2010 hingga 2022 (data sampai Maret), porsi konsumsi semen di Sulawesi naik dari 7,47% menjadi 9,94% total konsumsi semen nasional.

Selama periode yang sama, Maluku Papua juga naik dari 2,24% menjadi 3,47%, sedangkan porsi Jawa turun dari 53,75% menjadi 52,39%, dan Sumatra juga turun dari 23,78% menjadi 22,55%.

Agaknya, program Presiden Jokowi untuk membangun dari pinggiran, termasuk Indonesia Timur, mulai tampak nyata.

Pil Pahit Saat Pemulihan

Artikel sebelumnya

Baca Juga