Ketika Kegemukan Bukan Lagi Simbol Kemakmuran

JAKARTA — Dulu, kegemukan dianggap sebagai simbol kemakmuran. Setidaknya, sinyal dari kecukupan gizi dan kemapanan sehingga kerap jadi bahan kebanggaan.

Belakangan, sejumlah riset menyimpulkan kegemukan merupakan akar dari banyak penyakit. Mulai dari diabetes, tekanan darah tinggi, hingga berbagai gangguan metabolisme tubuh.

Kelebihan berat badan juga meningkatkan risiko terhadap gagal jantung, stroke, bahkan juga kanker – tiga penyakit penyebab kematian paling tinggi di Indonesia.

Cilakanya, jumlah dan porsi orang yang kegemukan semakin meningkat. Sepuluh tahun lalu, Riset Kesehatan Dasar yang digelar Kementerian Kesehatan pada 2013 mencatat, hanya ada satu dari tujuh (15%) orang dewasa Indonesia (berusia 18 tahun keatas) yang mengalami obesitas.

Angka ini cenderung makin membubung. Pada 2016, porsi obesitas menanjak menjadi 20,7% dari populasi orang dewasa, dan naik lagi menjadi 21,8% pada 2018.

Menurut sistem klasifikasi nasional, obesitas merujuk pada keadaan ketika body mass index (indeks masa tubuh, BMI) sama atau lebih besar dari 27 kilogram per meter persegi. BMI dihitung dari berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi bedan (dalam meter).

Seperti sudah banyak diketahui, kegemukan terjadi akibat “surplus kalori”. Jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih besar ketimbang yang dibakar. Kelebihan ini disimpan oleh tubuh dalam bentuk tabungan lemak. Gaya hidup yang kurang-gerak, serta konsumsi gula dan karbohidrat yang berlebihan dianggap sebagai biang kerok dari surplus ini.

Orang bisa gemuk dengan biaya murah

Masalahnya, surplus kalori bukan hanya diderita oleh mereka yang punya kebebasan memilih makanan, tapi juga menjangkiti mereka yang tak punya daya untuk memilih menu. Akibatnya, kegemukan bisa menjadi “wabah” yang semakin sulit dikendalikan.

Gula dan karbohidrat kini merupakan sumber energi paling murah yang tersedia. Selain itu, rasanya enak dan mengenyangkan.

Berbagai produk makanan olahan kini “disumpal” dengan banyak gula agar biaya produksinya bisa ditekan. Selai untuk pendamping makan roti, misalnya, ongkosnya makin murah jika kandungan gulanya digenjot banyak-banyak. Ini karena harga gula jauh lebih murah dari harga sari buah.

Begitu juga dengan berbagai produk makanan ringan, biskuit, kue-kue, dan cemilan lain. Juga produk minuman instan kemasan sachet yang kini menjamur, dijual hingga ke warung-warung kecil di pelosok kampung. Harganya murah, kandungan gulanya tinggi.

Harga murah menjadi “pilihan” paling rasional bagi mereka yang tak punya banyak pilihan. Apalagi jika yang murah itu juga enak. Intinya, kini orang bisa menjadi gemuk dengan biaya lebih murah dan nyaman.

Konsumsi tertinggi di daerah termiskin

Riset datanesia juga menunjukkan gelagat senada. Konsumsi gula pasir justru sangat tinggi pada daerah dengan penghasilan rendah.

Data BPS tahun 2021 menunjukkan, Kabupaten Puncak dengan pendapatan per kapita Rp11,3 juta per tahun (salah satu yang terendah di Indonesia), merupakan daerah dengan konsumsi gula pasir paling tinggi.

Konsumsi gula pasir pada kabupaten di kawasan Pegunungan Tengah, Papua, itu mencapai 3,92 ons per kapita per pekan. Ini setara dengan 20 kg lebih per orang per tahun, atau tiga kali lipat dari angka rata-rata konsumsi nasional yang hanya 1,28 ons per kapita per pekan.

Urutan kedua dan ketiga tertinggi dipegang Kabupaten Lingga (Kepulauan Riau) dan Barito Selatan (Kalimantan Tengah), masing-masing dengan konsumsi 2,94 dan 2,85 ons per kapita per pekan.

Dua daerah ini juga bukan wilayah kaya. Pada 2021, pendapatan per kapita Kabupaten Lingga dan Barito Selatan, masing-masing hanya Rp44 juta dan Rp51 juta per kapita per tahun, di bawah rata-rata nasional.

Sementara itu, Jakarta Pusat, salah satu wilayah terkaya Indonesia dengan pendapatan per kapita Rp683 juta per tahun, konsumsi gulanya tak sampai satu ons per orang per pekan. Begitu juga Kabupaten Kediri, daerah terkaya ketiga Indonesia, konsumsi gula pasirnya hanya setara dengan rata-rata nasional.

Pengendalian fiskal?

Rencana pemerintah untuk mengambil langkah fiskal dengan cukai-gula mungkin bisa membatasi konsumsi. Cukai yang menaikkan harga gula berpeluang mendorong konsumen mengalihkan belanjanya ke makanan yang lebih sehat.

Namun, policy ini musti diambil dengan hati-hati. Mengganti gula dengan pilihan makanan yang lebih sehat akan meningkatkan pos belanja pangan. Ini akan memukul kelompok rumah tangga miskin, yang selama ini lebih banyak menghabiskan pendapatan untuk belanja makanan ketimbang rumah tangga kaya.

 

Liga Bank Digital di Indonesia

Artikel sebelumnya

Serbuan Pakaian Impor

Artikel selanjutnya

Baca Juga