JAKARTA – Krisis pangan telah membuat banyak pejabat gusar. Dari Presiden Joko Widodo yang memberikan peringatan agar Indonesia siaga menghadapi potensi krisis pangan, hingga ada juga usulan menteri yang kadang-kadang rada jenaka: segera pindah konsumsi singkong sebagai ganti gandum.
Nyatanya bagi masyarakat Indonesia, beras masih menjadi komoditas yang paling banyak dikonsumsi. Mengacu pada hasil survei biaya hidup yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 –tahun terakhir publikasi- total nilai konsumsi beras dalam setahun sekitar Rp416 triliun atau 3,3% dari total konsumsi dasar masyarakat.
Porsi tersebut sangat besar, mengingat komoditas yang disurvei ada sekitar 473 sampel. Sebab jika dibagi rata saja, maka masing-masing sampel komoditas punya porsi 0,2%.Ini menunjukkan banyaknya masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras.
Seiring dengan krisis pangan yang sedang terjadi di tingkat global, Indonesia pun pasang kudakuda. Dalam sidang kabinet paripurna yang digelar akhir Juni lalu, Presiden sudah mengingatkan para menteri bahwa bahwa kondisi saat ini sedang tidak normal. Ancaman paling mengkhawatirkan dari krisis pangan, katanya, kelaparan dan ancaman kemiskinan ekstrem yang mulai tampak di banyak negara.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 10,9 juta orang pada 2021. Upaya pengentasannya, kata TNP2K, fokus pada tuju provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku Papua Barat dan Papua.
Untuk urusan ketersediaan pangan, jika melihat statistik pangan secara nasional, Indonesia memang tampak baik-baik saja. Setidaknya hingga 2021, seperti didokumentasikan Badan Ketahanan Pangan, banyak komoditas yang masih surplus. Kemampuan produksi nasional masih mampu memenuhi konsumsi domestik. Untuk beras, walaupun ada impor, namun untuk beras kebutuhan khusus.
Persoalannya, Indonesia merupakan negara yang terajut dari sekitar 17 ribu pulau dan 37 provinsi. Kemampuan produksi kebutuhan pangan strategis tidak merata, sehingga ada wilayah yang surplus, tapi banyak pula yang defisit.
Ambil contoh komoditas beras. Dari sisi volume, Jawa Tengah tercatat sebagai provinsi dengan surplus terbesar, yaitu 3,0 juta ton pada 2021. Jumlah tersebut setara dengan 123,8% dari perkiraan kebutuhan konsumsi masyarakat di wilayah tersebut. Dari sisi persentase, Sulawesi Selatan mengalami surplus paling besar, yaitu 253,1% dari kebutuhan konsumsi warga setempat.
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan defisit beras terbesar. Ini menunjukkan bahwa Jakarta tidak mampu memenuhi beras dari hasil produksi sendiri untuk kepentingan wilayah. Maklum, ketersediaan lahan tak lagi mumpuni di ibu kota tersebut. Pada akhirnya, beras harus diimpor dari provinsi lain.
Empat provinsi lain yang termasuk dalam lima wilayah dengan defisit beras terbesar di Indonesia: Riau, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Utara. Sebagai catatan, konsumsi yang dihitung hanya untuk rumah tangga, dengan mengabaikan kebutuhan industri seperti restoran maupun hotel.
Selain beras, ayam ras termasuk komoditas yang juga banyak dikonsumsi, baik daging maupun telurnya. Untuk dua jenis pangan tersebut, nilai konsumsinya per tahun sekitar Rp258 triliun, dengan rincian Rp171 triliun untuk daging ayam ras dan Rp87 triliun telur ayam ras. Secara gabungan, kontribusinya terhadap konsumsi dasar masyarakat Indonesia mencapai 2,1%.
Besarnya konsumsi ayam ini memperlihatkan bahwa komoditas tersebut cocok dengan lidah dan perut masyarakat Indonesia secara umum.
Seperti halnya beras, DKI Jakarta juga tercatat sebagai provinsi dengan defisit paling besar. Ayamayam yang masuk pasar Jakarta sebagian besar didatangkan dari luar daerah.
Belakangan, pemerintah pun tergiur untuk mengekspor daging ayam. Komoditas ini memang mampu memenuhi kebutuhan nasional, namun posisinya yang strategis sebagai konsumsi kebutuhan dasar warga, berpotensi terkerek sesuai harga internasional, sejalan dengan dimulainya perdagangan ke luar negeri.