JAKARTA — Sepanjang tahun ini, harga minyak mentah di pasar internasional mencapai puncaknya pada 8 Maret, yaitu menyentuh US$119 per Barel. Setelah itu terus turun, namun masih bertengger di atas US$90 per barel, sehingga bebannya masih terasa.
Sebagai acuan pengelolaan anggaran 2022, pemerintah menetapkan harga minyak mentah US$63 per barel. Ketika harganya di atas itu, maka selisihnya adalah beban tambahan triliunan rupiah pada anggaran subsidi dan kompensasi harga energi: elpiji, minyak tanah, dan listrik.
Kondisi ini memperlihatkan sensitifnya beban anggaran terhadap perkembangan harga energi, khususnya minyak mentah. Apalagi hingga Juli 2022, harga Indonesia Crude Price (ICP) masih di atas US$100 per barel. ICP ini merupakan harga rata-rata minyak mentah Indonesia di pasar internasional yang jadi acuan perhitungan bagi hasil.
Adanya selisih harga ICP dengan patokan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka beban subsidi akan bertambah. Pada tahun ini, total subsidi energi, termasuk di dalamnya bahan bakar minyak, elpiji, dan listrik, sekitar Rp134 triliun. Kalau pun belakangan Presiden Joko Widodo menyebut subsidi energi sekitar Rp502 triliun, tentu yang dimaksud adalah subsidi plus kompensasi.
Terlepas dari adanya tambahan beban subsidi itu, perkembangan harga energi yang melonjak akibat perkembangan geopolitik global memperlihatkan rentannya ketahanan energi nasional. Dari aspek ketersediaan, terutama untuk minyak mentah, bahan bakar minyak, dan elpiji masih sangat bergantung pada impor.
Karena itu, daya rambat kenaikan harga tiga jenis energi itu pun menjalar ke banyak urusan. Dari potensi tekornya APBN, peningkatan ongkos produksi, hingga beban pengeluaran masyarakat.
Kendurnya daya tahan energi Indonesia juga terlihat dalam pemeringkatan yang dipublikasikan World Energi Council (WEC), yaitu Trilemma Indeks. Posisi Indonesia pada 2021 ada di urutan 58 dari 127 negara, dengan skor 61,1. Tentu posisi itu bukan kabar menggembirakan. Selain turun dua peringkat dari tahun lalu, posisi Indonesia tercatat di bawah Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, serta Thailand.
Sejak 2010, WEC -organisasi dunia di bidang energi- mengukur Trilemma Indeks negara-negara di dunia yang menjadi anggotanya, termasuk Indonesia. Tiga indikator yang digunakan dalam perhitungan indeks adalah ketahanan energi (manajemen pengelolaan energi termasuk stok), energy equity (akses energi bagi kebutuhan domestik), serta kualitas lingkungan hidup.
Indikator yang digunakan WEC senada dengan ketatapan pemerintah Indonesia, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan utama dari ketentuan ini: ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional, prioritas pengembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi, serta cadangan energi nasional.
Perbedaannya: di Indonesia belum ada yang mengukur secara konsisten soal ketahanan energi ini, mungkin khawatir menjadi aib nasional atau menyerempet ke banyak sisi. Akibatnya, rapor ketahanan energi nasional nyaris tidak terdeteksi,terutama untuk mendukung mitigasi risiko.
Ketahanan energi suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap Lingkungan Hidup”.
– Pasal 1 Ayat 10 PP 79/2014 –
Jika dilihat dari unsur ketersediaan dalam rangka ketahanan energi, Indonesia hanya unggul di batu bara, namun mayoritas komoditas tersebut diekspor dalam bentuk mentah. Hampir tak terdengar adanya upaya hilirisasi, apalagi pengembangan teknologi seperti upaya mengubah batu bara menjadi energi gas (coal to gas) maupun bentuk hilir lainnya.
Untuk konsumsi domestik, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) masih dominan dibandingkan jenis energi lain. Pada 2020, porsinya masih 24,8% dari total penggunaan energi akhir (final). Persoalannya, sejak 2008 Indonesia tercatat sebagai net importer alias negara yang bergantung pada impor untuk kebutuhan minyak mentah domestik.
Ini juga yang membuat daya tahan energi Indonesia begitu kendur. Ketersediaannya harus dipenuhi dengan mengimpor lantaran kemampuan produksi nasional secara konsisten terus turun. Berbanding terbalik dengan kebutuhan.