Jalan Terjal Kemandirian Farmasi

JAKARTA – Impor produk farmasi terus meningkat, meski ketergantungan Indonesia pada bahan baku obat impor mulai menurun.

Selama satu dasa warsa terakhir, nilai impor produk farmasi naik hampir dua kali lipat dari US$656 juta pada 2013 menjadi US$1,3 miliar 2023.

Di masa puncak pandemi, 2021, impor produk farmasi bahkan sempat melonjak hingga US$4,4 miliar, tapi setelah itu berangsur menurun, meski belum kembali ke posisi sebelum pandemi.

Selain nilainya terus membesar, laju pertumbuhan impor farmasi juga semakin kencang. Selama sepuluh tahun terakhir, porsi impor produk farmasi terhadap total impor terus merayap naik dari 0,35 persen pada 2013 menjadi 0,58 persen (2023).

Untuk mengurangi impor, pemerintah mendorong pemakaian bahan baku obat lokal melalui sejumlah kebijakan.

Misalnya, dengan meningkatkan persyaratan TKDN (tingkat komponen dalam negeri), khususnya bagi obat yang dibeli oleh rumah sakit umum daerah, puskesmas, dan fasilitas kesehatan (faskes) lain milik pemerintah.

Obat yang boleh dibeli oleh faskes pemerintah kini wajib memiliki kandungan lokal minimal 40 persen, bahkan 52 persen untuk beberapa obat tertentu.

Kewajiban ini memaksa industri farmasi memanfaatkan bahan baku obat lokal agar dapat masuk ke dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang merupakan pasar farmasi terbesar di Indonesia.

Tantangan besar: obat paten

Di saat impor obat cenderung meningkat, ketergantungan pada bahan baku obat impor justru tampak menurun. Gegalat ini tampak dari meningkatnya jenis bahan baku obat yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Saat ini, industri farmasi nasional sudah mampu membuat delapan dari 10 bahan baku obat yang paling banyak dipakai di Indonesia. Di antaranya, parasetamol, omeprazol, amlodipin, clopidogrel, dan candesartan.

Selain itu, porsi impor bahan baku obat dari Cina (negara pemasok bahan baku obat terbesar dunia) juga mulai dapat ditekan. Meski sempat melonjak di masa pandemi, impor dari Cina pada 2023 hanya 6,2 persen dari total impor produk farmasi, turun dari 7,6 persen sebelum pandemi.

Jika ketergantungan terhadap bahan baku obat impor mulai dapat ditekan, tak demikian halnya dengan obat paten.

Agaknya, inilah tantangan terbesar kemandirian farmasi Indonesia: bagaimana mengurangi ketergantungan pada impor obat paten, yang merupakan hasil riset dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Belgia.

Porsi impor produk farmasi dari ketiga negara produsen obat paten itu terus meningkat. Tahun 2023 lalu, porsinya mencapai 35,5 persen dari total impor produk farmasi, meningkat dari 32,8 persen, posisi sebelum pandemi.

Ikhtiar untuk menuju kemandirian farmasi masih terjal dan berliku. Indonesia bukan hanya musti menggenjot produksi obat generik secara masal, tapi juga mendorong tumbuhnya riset dan pengembangan farmasi untuk memenuhi kebutuhan obat paten.

Dana Nganggur untuk Talangi BUMN

Artikel sebelumnya

Salah Sasaran Aliran Subsidi

Artikel selanjutnya

Baca Juga