JAKARTA – Akhir Juli lalu, Bank Dunia membuat peringatan penting. Harga pangan yang menyentuh rekor baru akan memicu krisis global. Jutaan orang bakal masuk jurang kemiskinan ekstrem, yaitu pengeluarannya jauh di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang mengalami kelaparan maupun kekurangan gizi makin banyak.
Hasil pembangunan yang terus digerakkan di banyak negara akan terhapus dengan sekejap. Penyebabnya, pandemi Covid-19 yang kemudian disambut oleh perang Rusia dan Ukraina, hingga akhirnya menimbulkan gangguan rantai pasok global.
Kondisi tersebut membuat harga pangan melonjak. Dampak terbesarnya dirasakan oleh negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Indonesia termasuk di dalamnya. Pada 2021, hasil survei sosial dan ekonomi nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, 56,4% pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia digunakan untuk konsumsi makanan.
Bank Dunia mencatat, pada 29 Juli 2022, indeks harga pertanian telah naik 19% dibandingkan Januari 2021. Di antara kontributor terbesarnya adalah harga gandum yang tumbuh 22%, pada periode tersebut.
Bahkan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO: Food and Agriculture Organization), pada Maret 2022, indeks harga pangan dunia mencapai titik tertinggi dalam 32 tahun terakhir. Lembaga ini menerbitkan dua indeks harga pangan: nilai aktual dan riil. Untuk indeks aktual, mengacu pada nominal harga di pasar. Sedangkan indeks riil, telah dikoreksi oleh indeks harga pabrikan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (Indeks MUV: Manuctures Unit Value).
Tingginya harga pangan di tingkat global membuat ketahanan pangan banyak negara merosot. Dari 113 negara yang diukur dalam “Global Food Security Index 2021” yang dikeluarkan oleh Economist Impact (The Economist Group), 63 negara di antaranya mengalami penurunan skor.
Untuk 2021, Indonesia berada di urutan 13 dari 23 negara di kawasan Asia Pasifik atau urutan ke-69 dari 113 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Singapura, China, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Ada empat indikator yang dijadikan dasar untuk menilai ketahanan pangan tersebut: keterjangkauan (affordibility), ketersediaan (availability), kualitas dan keamanan (quality and safety), sumber daya alam dan ketangguhan (natural resource and resilience).
Dari empat indikator yang diukur, penurunan terbesar dari komponen ketahanan pangan Indonesia adalah ketersediaan bahan pangan yang pada 2021 merosot 4,1% dari tahun sebelumnya. Untuk indikator ini, Indonesia antara lain berada di bawah Malaysia, Nepal dan India.
Ketersediaan yang menurun itu mengisyaratkan bahwa masyarakat makin sulit mencari sejumlah komoditas pangan di pasar, seperti pernah terjadi pada minyak goreng. Kalau pun ada, harganya sangat mahal. Bagian ini diukur melalui indikator keterjangkauan, yaitu kemampuan masyarakat memperoleh barang pangan.
Pada indikator keterjangkauan, Indonesia juga mengalami penurunan indeks sebesar 2,2. Terbesar kedua setelah indikator ketersediaan.
Standar internasional seperti yang dikeluarkan oleh Economist Impact sejalan dengan acuan di dalam negeri, seperti termaktub dalam Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan. Regulasi tersebut menegaskan, ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga perseorangan.
Indikasinya adalah tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau. Selain itu, tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pada intinya yang diukur untuk ketahanan pangan adalah senada: ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Bukan hanya akumulasi di tingkat nasional yang perlu diukur. Mempertimbangkan secara spasial atau berdasarkan daerah juga penting, mengingat adanya keragaman karakteristik ketahanan pangan.