Dua Sisi Koin Demam Digital

JAKARTA – Ramalan sosiolog Inggris, David Harvey, menemui wujudnya. Katanya suatu ketika: waktu dan ruang tidak lagi berjarak. Revolusi Industri 3.0 yang ditandai dengan kemunculan teknologi digital dan internet adalah awalnya.

Setelah itu muncul Revolusi Industri 4.0. Teknologi siber dan teknologi otomatisasi berkolaborasi, sehingga dikenal dengan istilah cyber physical system. Penggunaan teknologi pada era ini mencakup internet of things (IoT), big data, machine learning, artificial intelligence, cloud computing dan additive manufacturing.

Bahkan kini, Jepang sudah menggaungkan gelombang Revolusi Industri/Society 5.0. Kemajuan ekonomi diimbangi dengan penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang siber dan ruang fisik.

Indonesia mencoba beradaptasi. Pemerintah mendokumentasikan integrasi transformasi digital ke dalam “Tujuh Agenda Pembangunan” yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, khususnya agenda kelima: memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar.

Selain itu, ada juga aspirasi “Making Indonesia 4.0” yang digagas Kementerian Perindustrian dengan 10 program prioritas nasionalnya. Tapi entah sampai di mana pencapaiannya. Gelap.

Sejatinya, transformasi digital merupakan tahap ketiga dalam alur teknologi digital setelah kompetensi digital dan penggunaan digital. Transformasi digital dapat dikatakan sebagai efek dari proses digitalisasi yang mentransformasi dan mengubah tidak hanya model bisnis. Perubahan lainnya, yaitu sosial-struktur ekonomi, hukum dan langkah-langkah kebijakan, pola organisasi, hambatan budaya dan seluruh perubahan yang berhubungan dengan penerapan teknologi digital dalam semua aspek kehidupan masyarakat.

Pemerintah sudah punya dokumen transformasi digital berupa “Peta Jalan Indonesia Digital 2021- 2024” yang diharapkan bisa mempercepat dan meningkatkan pemanfaatan serta pengembangan teknologi digital. Kementerian Komunikasi dan Informatika ingin mempercepat transformasi dari rencana 10 tahun menjadi 2-3 tahun saja.

Target yang dipancang, pertumbuhan ekonomi digital 3,17-4,66% pada 2024. Nilai transaksi e-commerce pun diharapkan naik menjadi Rp600 triliun.

Rupanya dari beragam dokumen yang telah digadang-gadang, ada satu hal penting yang terlupakan, atau sengaja diabaikan. Ekonomi digital tidak hanya menyoal internet, e-commerce, unicorn, dan sebagainya. Tentunya ada aspek dari hulu ke hilir dari ekonomi digital. Satu aspek pentingnya adalah infrastruktur teknologi digital, baik hardware, software maupun infrastruktur backbone seperti satelit, jaringan fiber optik atau lainnya.

Tanpa ketersediaan infrastruktur tersebut di dalam negeri, pemenuhan kebutuhan ekonomi digital Indonesia akan bergantung pada pasokan dari luar negeri. Hingga saat ini telah terbukti ikut menggerus neraca perdagangan komputer (HS8471), karena nilai impornya selalu melebihi nilai ekspor. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia untuk komputer selalu mengalami defisit yang terus semakin dalam seiring dengan demam digital.

 

Tenggelam dalam Defisit

Perlu dicatat, nilai impor komputer (HS8471) pada 2021 mencapai US$3,1 miliar, meningkat 51,1% dari US$2 miliar pada tahun 2020. Sementara ekspornya hanya meningkat 32,8% dari US$242 juta menjadi US$322 juta. Hasilnya, neraca perdagangan komputer Indonesia defisit US$2,7 miliar pada 2021, semakin dalam dibandingkan tahun sebelumnya.

Tren perdagangan telepon dan komponennya (HS8517) juga menunjukkan pola yang sama. Impornya semakin meningkat dari tahun ke tahun, jauh melampaui kenaikan ekspornya. Defisit neraca perdagangan untuk telepon dan komponennya (HS8517) pun semakin lama semakin dalam hingga mencapai US$4,6 miliar pada 2021, setelah sebelumnya juga defisit US$4,4 miliar pada tahun 2020.

Tidak hanya dari sisi barang, neraca transaksi berjalan dari sisi jasa telekomunikasi, komputer dan informasi Indonesia pun turut defisit yang makin dalam. Selama ini, penduduk Indonesia lebih banyak menggunakan internet untuk tujuan jejaring sosial melalui media online, seperti Facebook, Twitter, BBM, Whatsapp, Skype, yang jumlahnya mencapai 140 juta individu (88,6%). Tujuan utama berikutnya adalah mendapatkan informasi atau berita (64,9%) dan untuk mencari hiburan seperti bermain online game, menonton film atau video, dan mendengarkan musik (63,3%).

Download Edisi White Paper

Laju Tak Tertahankan Ekonomi Digital

Artikel sebelumnya

Jasa Telekomunikasi dalam Dokumen IMF

Artikel selanjutnya

Baca Juga