JAKARTA — Mungkin ini bisa jadi kabar baik bagi badan usaha milik negara. Pemerintah kini membuka pintu pinjaman bagi BUMN yang butuh dana mendesak. Dana talangan ini bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN.
Sederhananya, SAL merupakan dana yang tersisa dari pelaksanaan APBN. Dana sisa ini biasa disebut sebagai “idle cash” atau “dana nganggur“.
Selama ini, SAL dicadangkan terutama untuk pengeluaran mendadak. Misalnya, untuk bemper jika terjadi bencana alam, pandemi, atau krisis ekonomi. SAL juga bisa dipakai untuk menambal kekurangan APBN tahun berikutnya, atau membantu stabilitas fiskal, atau untuk investasi strategis jangka panjang.
Mulai akhir tahun ini, Menteri Keuangan mengizinkan pemakaian SAL untuk pinjaman talangan bagi BUMN, BUMD, Pemerintah Daerah, hingga Badan Hukum Lainnya (BHL). Kebijakan ini diambil untuk memperkuat pengelolaan kas negara dengan manfaatkan dana nganggur itu sebagai bantuan likuiditas.
Tentu, ada syarat dan ketentuannya. SAL hanya bisa dipinjam oleh badan usaha pemerintah atau Pemda yang mendapat tugas untuk melaksanakan kebijakan nasional. Surat ketetapan penugasan ini minimal diteken oleh menteri.
Pinjaman dalam mata uang rupiah ini juga bersifat jangka pendek, paling lama 90 hari kalender, dengan tanggal akhir pinjaman paling lama sampai akhir tahun anggaran.
Selain itu, peminjam harus menyertakan jaminan. Bentuknya bisa deposito dalam mata uang rupiah atau Surat Berharga Negara (SBN). Nilai deposito minimal 102 persen dari pinjaman dan harus bisa dicairkan sewaktu-waktu, sedangkan SBN minimal bernilai 120 persen dari nilai pinjaman.
Tak ada ketentuan soal plafon pinjaman. Semua permohonan akan dinilai oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, tapi keputusan soal lolos tidaknya permohonan ada di tangan Menteri Keuangan.
SAL menipis, anggaran membengkak
Dalam 10 tahun terakhir, SAL cenderung meningkat walau fluktuatif. Pada APBN 2023 tersisa dana menganggur Rp459,5 triliun, turun dari Rp478,9 triliun pada tahun sebelumnya.
Dari celengan Rp459,5 triliun ini, pemerintah akan mencairkan sekitar Rp151 triliun untuk menutup sebagian defisit APBN 2024.
Jadi pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, SAL tersisa Rp308,5 triliun. Padahal tahun depan pemerintah membutuhkan anggaran kolosal untuk membiayai kabinet yang makin gemuk, program makan siang gratis, pembangunan Ibu Kota Nusantara, dan utang jatuh tempo yang mencapai Rp800 triliun lebih.
Itu sebabnya anggaran defisit Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada APBN 2025 merupakan target yang sangat berat.
Ikhtiar pemerintah untuk “memutar” dana SAL mungkin bisa menjaring tambahan dana untuk sedikit menambal lubang pada anggaran 2025 – ketimbang SAL cuma nganggur jadi “uang dingin”.
Bagi calon debitur, pinjaman dana SAL bisa menguntungkan karena suku bunganya negotiable, kemungkinan bisa lebih murah dari pinjaman komersial atau penerbitan obligasi. Proses pencairan dananya pun lebih cepat.
Perlu diingat, ini pinjaman jangka pendek. Debitur harus memastikan kemampuannya untuk melunasi tepat waktu. Jika gagal bayar, alih-alih meringankan defisit, dana SAL malah bakal jadi beban APBN.