Bisakah Kita Bahagia, Meski Miskin dan Menganggur

JAKARTA — Bisakah kita bahagia meskipun miskin dan menganggur? Apa yang sesungguhnya membuat kita bahagia? Uangkah, atau pekerjaan? Keluarga, teman-teman, atau lingkungan pergaulan?

Uang dapat membeli ranjang, kata seorang filsuf, tapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa memborong makanan, tapi bukan selera makan. Money can’t buy me love, kata The Beatles. Uang tak bisa membeli cinta. Uang dan berlian tak ada artinya dibandingkan kebahagiaan dalam cinta.

The Beatles dan para filsuf ini mungkin betul. Uang tak mampu membeli segalanya. Namun, sejumlah data dan survei terbaru menunjukkan gelagat: uang setidaknya dapat membantu kita meraih kebahagiaan.

Datanesia mencoba mencari kaitan antara kebahagiaan dengan kemiskinan dan pekerjaan. Apakah daerah dengan kemiskinan tinggi, indeks kebahagiaannya rendah? Bagaimana jika penganggurannya tinggi?

Mungkinkah daerah dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi, warganya bisa bahagia? Atau sebaliknya, apakah daerah dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran rendah, otomatis mampu membuat warganya bahagia?

Datanesia menggunakan hasil survei indeks kebahagiaan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021. Tingkat kemiskinan dan pengangguran juga diolah dari sumber data yang sama.

Survei kebahagiaan digelar BPS sekali dalam tiga tahun, sejak 2014. Indeks ini dinilai penting untuk melengkapi indikator ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi yang punya beberapa kelemahan. Misalnya, tak mampu menggambarkan kemakmuran, kesejahteraan, dan pemerataan pendapatan.

Indeks kebahagiaan disusun dari 19 parameter yang luput dari rekaman indikator makro, seperti pekerjaan utama, kesehatan, fasilitas rumah, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, bahkan juga kondisi keamanan, tingkat kecemasan, dan pengembangan diri.

The Beatles tak sepenuhnya keliru

Sepintas, hasil pengolahan Datanesia menggarisbawahi keyakinan The Beatles dan para filsuf bahwa uang tak bisa membeli segalanya. Pekerjaan juga tak menjamin hadirnya kebahagiaan.

Daerah dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang rendah, justru kurang bahagia dibandingkan dengan indeks kebahagiaan nasional. Sebaliknya, wilayah dengan angka kemiskinan dan pengangguran tinggi, malah lebih bahagia.

Provinsi Maluku, misalnya. Tingkat kemiskinan daerah penghasil rempah ini mencapai 16,3%, jauh lebih tinggi dari angka nasional yang 9,71%. Pengangguran juga tinggi: 6,93%, ketimbang angka nasional hanya 6,49%.

Meski demikian, indeks kebahagiaan Maluku mencapai 76,28 (nasional 71,49), atau tertinggi ketiga dari seluruh provinsi di Indonesia setelah Maluku Utara dan Kalimantan Utara.

Sebaliknya Bali dan Sumatera Utara. Kedua wilayah ini tingkat kemiskinan dan pengangguran tergolong sangat rendah. Bali, misalnya, tingkat kemiskinan 4,72% (separuh persentase nasional), dan angka pengangguran 5,37%. Namun, indeks kebahagiaan kedua provinsi ini berada di bawah nasional.

Meski uang dan pekerjaan seperti tak punya pengaruh, ada sembilan wilayah yang indeks kebahagiaannya sejalan dengan rendahnya angka kemiskinan dan penganguran. Daerah-daerah itu misalnya, Maluku Utara, Kalimantan Utara, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Bangka Belitung.

Makin kaya, makin sengsara

Di tingkat internasional, survei yang digelar Gallup (dengan dukungan PBB) menunjukkan kecenderungan serupa. World Happiness Report 2018 menyimpulkan makin kaya suatu negara, akan makin bahagia warganya.

Contoh paling nyata: Cina. Antara 2008 – 2018, pendapatan per kapita Cina naik dua kali lipat. Bersamaan dengan itu indeks kebahagiaannya naik 0,43 poin. Begitu pula Jerman, Korea Selatan, Rusia, Inggris, dan Indonesia.

Sebaliknya Venezuela, negara yang pernah menjadi negara kelima paling bahagia di dunia, menjadi sengsara gara-gara ekonominya ambruk. Kisah serupa terjadi pada Italia, Ukraina, dan Yunani. Indeks kebahagiaan negara-negara ini melorot bersamaan dengan jatuhnya perekonomian.

Meski begitu, ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi. Dari 125 negara yang disurvei, ada 43 yang menunjukkan gelagat sebaliknya: pendapatan per kapita tumbuh, tapi indeks kebahagiaan malah bergerak berlawanan arah.

India misalnya. Sama seperti Cina, selama periode 2008 – 2018 ekonominya juga tumbuh pesat, tapi kebahagiaan justru turun 1,2 poin.

Seperti India, negara-negara seperti Mesir, Malaysia, Bangladesh, Vietnam, Jepang, dan Amerika Serikat punya kisah serupa: ekonomi tumbuh, pendapatan per kapita naik, standar hidup meningkat, tapi malah makin sengsara.

Agaknya, populasi dunia terbagi dua. Ada wilayah di mana kebahagiaan dan pendapatan bergerak ke arah yang sama, dan ada yang keduanya berjalan berseberangan.

Serbuan Pakaian Impor

Artikel sebelumnya

Geliat Industri Kesehatan

Artikel selanjutnya

Baca Juga