JAKARTA — Orang kota makin banyak, orang desa semakin langka. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 1980 porsi orang kota tak sampai seperempat populasi penduduk Indonesia. Tiga puluh tahun kemudian, 2010 porsinya merambat naik menjadi separuh populasi, dan terus menanjak hingga pada 2020 menjadi 56,7% populasi.
Makin besarnya porsi penduduk kota menyiratkan derasnya perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau urbanisasi. Akibatnya, jumlah penduduk kota tumbuh lebih cepat dari sekadar perubahan angka kelahiran dan kematian.
Kota-kota pun semakin berkembang. Kota kecil tumbuh menjadi kota menengah, kota menengah menjadi kota besar, dan kota besar terus mekar menjadi metropolitan.
Menurut Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kota-kota di Indonesia dikelompokkan dalam lima kategori. Megapolitan untuk kota dengan penduduk 10 juta jiwa atau lebih, kota metropolitan (penduduk 1 – 10 juta jiwa), kota besar (500.000 – 1 juta jiwa), kota sedang (100.001 – 500.000 jiwa) dan kota kecil dengan penduduk antara 50.000 – 100.000 jiwa.
Pada 1950, Indonesia hanya punya satu kota metropolitan, yaitu Jakarta. Tiga puluh tahun kemudian, Surabaya, Bandung, Medan menyusul. Dan 30 tahun berikutnya, 2010, giliran Semarang, Palembang, Makassar, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Tangerang Selatan (Tangsel) masuk ke dalam klub kota dengan jutaan penduduk.
Terakhir 2020, hanya berselang sepuluh tahun dari sensus terakhir, one million club bertambah empat kota sekaligus: Batam, Bandar Lampung, Jakarta Pusat, dan Bogor. Total jenderal, kini Indonesia memiliki 18 kota metropolitan.
Statistik jumlah penduduk dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa Jakarta tetap menjadi magnet yang menyedot para pendatang — meski pusat-pusat pertumbuhan penduduk sudah mulai menyebar ke luar Jawa.
Penduduk di lima kota Jakarta (Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat) kini semuanya telah melampaui angka satu juta jiwa.
Jakarta Timur menggeser posisi Surabaya sebagai kota dengan penduduk terbanyak di Indonesia, dengan populasi 3,04 juta jiwa. Jika ditotal, jumlah penduduk pada lima kota di DKI Jakarta telah mencapai 10,54 juta jiwa, naik 10% ketimbang 10 tahun lalu.
Daya pikat Jakarta juga tampak dari pertumbuhan penduduk kota-kota satelit di sekeliling Ibu Kota. Jumlah penduduk Kota Bekasi (2,54 juta jiwa), misalnya, kini melampaui Bandung (2,44 juta). Begitu pula Depok (2,01 juta), yang dalam tempo 10 tahun menggeser posisi Tangerang (1,9 juta).
Meski Jakarta tetap menjadi magnet, pusat-pusat pertumbuhan baru mulai bermunculan di luar Jawa. Dalam tempo 60 tahun, antara 1950 – 2010, luar Jawa hanya mencatatkan tiga kota metropolitan: Medan, Makassar, dan Palembang. Namun hanya dalam tempo sepuluh tahun kemudian, muncul dua kota metropolitan baru: Bandar Lampung dan Batam.
Pertumbuhan terbesar, dalam jumlah penduduk, dialami Bandar Lampung (1,17 juta jiwa) yang melonjak ke posisi 16 dari 18 kota, melampaui Jakarta Pusat dan Bogor. Begitu pula Medan yang menggeser posisi Jakarta Barat, dan Palembang yang kini menyalip Semarang.
Lazimnya, pertumbuhan penduduk perkotaan dianggap sebagai gelagat yang baik. Ini bisa jadi penanda bahwa kota tumbuh dan menawarkan harapan hidup baru seperti lapangan kerja dan tempat berusaha.
Selain itu, pertumbuhan penduduk merupakan tambahan konsumen yang dapat memperbesar pasar, sekaligus tambahan pasokan tenaga kerja, dan pembayar pajak.
Namun, pertumbuhan penduduk juga membawa tantangan baru. Kebutuhan ruang untuk perumahan, sanitasi, fasilitas kesehatan dan pendidikan, akan meningkat.
Peningkatan kepadatan penduduk juga membawa persoalan kompleks yang sulit diselesaikan. Polusi, sampah dan limbah, sering berkembang menjadi ancaman banjir dan penurunan kualitas kesehatan. Begitu juga peningkatan angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, dan segregasi sosial.
Kepadatan penduduk yang tak terkendali bisa mendorong orang-orang kaya keluar dari kota, dan mencari tempat hidup baru yang lebih longgar dan lebih sehat.