Penumpang Gaib Kereta Cepat Woosh

JAKARTA – Ada dua cara untuk menceritakan kisah Kereta Cepat Whoosh. Pertama, yang disukai para akuntan dan kritikus, adalah sebuah tragedi finansial. Proyek ini menelan biaya miliaran dolar, terlilit hutang, dan membukukan kerugian sebesar Rp1,63 triliun hanya dalam enam bulan pertama tahun 2025.

Belum lagi dengan stasiun sepi, seperti Karawang yang dibuka pada 2024 hanya menyumbang 0,03% dari total penumpang, angka yang lebih mirip error pembulatan ketimbang data sungguhan dan angka yang secara statistik nyaris tidak ada. Dari total 6,06 juta penumpang Kereta Cepat Whoosh, Stasiun Karawang hanya melayani 2.000 orang sepanjang tahun—atau sekitar 0,03%, setara dengan 5-6 orang per hari. Secara statistik, ini adalah sebuah kegagalan total.

Kesimpulan konvensional pun dengan mudah ditarik, Whoosh proyek mercusuar yang indah, cepat, namun secara finansial merupakan sebuah bencana. Sebuah white elephant berlapis baja yang melesat menuju kebangkrutan.

Namun, ada cerita kedua, yang tersembunyi di balik angka-angka merah menyala dan minus itu. Ini adalah kisah tentang konsekuensi tak terduga, insentif tersembunyi, dan bagaimana sebuah kereta bisa menjadi sangat menguntungkan justru karena ia “merugi”. Untuk memahami cerita ini, kita perlu berhenti melihat Whoosh sebagai kereta dan mulai melihatnya sebagai sesuatu yang lain sama sekali.

 

Permainan Waktu Kaum Profesional

Whoosh pada dasarnya tidak menjual transportasi, ia menjual waktu. Sebuah perhitungan sederhana bisa menjelaskannya. Waktu seorang manajer di Jakarta, berdasarkan gaji rata-rata mereka, bernilai sekitar Rp 78.000 per jam. Sebuah tiket Whoosh seharga Rp 250.000, setara dengan nilai tiga jam kerja mereka, dapat membeli kembali sekitar dua jam hidup yang seharusnya hilang di tengah kemacetan Tol Cipularang.

Ini adalah transaksi yang sangat rasional. Kereta ini, dengan harganya, secara otomatis menyaring penumpangnya. Ia tidak dirancang untuk semua orang. Ia dirancang untuk segmen “kaya uang, miskin waktu” yang biaya peluang (opportunity cost) dari terjebak macet lebih mahal daripada harga tiketnya. Maka, lahirlah spesies baru, “komuter super”, para eksekutif yang bisa melakukan perjalanan bisnis pulang-pergi Jakarta-Bandung dalam satu hari kerja. Bagi mereka, Whoosh bukanlah kemewahan, melainkan alat produktivitas. Data terbaru menunjukkan mereka semakin banyak, hingga Oktober 2025, Whoosh telah melayani total 12 juta penumpang.

 

Konsekuensi Tak Terduga #1: Hotel yang Sepi dan Travel yang Tetap Eksis

Efisiensi brutal Whoosh menciptakan sebuah paradoks di Bandung. Kereta ini begitu hebat dalam mengantarkan wisatawan, sampai-sampai mereka tidak perlu menginap. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat melaporkan bahwa Whoosh belum berdampak signifikan pada okupansi hotel, terutama di hari kerja. Okupansi saat libur Natal dan Tahun Baru bahkan anjlok dari 80% menjadi hanya 55-60%.

Penyebabnya? Whoosh membuat perjalanan pulang-pergi di hari yang sama menjadi sangat mungkin. Masalah “mil terakhir”—perjuangan dari stasiun di pinggiran kota ke pusat kota—membuat opsi menginap menjadi kurang menarik. Akibatnya, lahir arketipe “Pelancong Harian Whoosh”: datang pagi, menghabiskan uang untuk kuliner dan oleh-oleh, lalu pulang sore hari. Pendapatan restoran mungkin meningkat, tetapi kamar hotel tetap kosong.

Anehnya lagi, travel shuttle yang seharusnya hancur lebur ternyata menolak untuk punah. Mengapa? Karena mereka menjual sesuatu yang berbeda: kenyamanan dari pintu ke pintu, sebuah solusi elegan untuk masalah “mil terakhir”. Sebuah studi bahkan menunjukkan probabilitas penumpang travel berpindah ke kereta cepat hanya 23%. Pasar secara alami terbagi: Whoosh untuk kecepatan, shuttle untuk kenyamanan.

Simulasi Biaya Ekonomi Sebenarnya dari Perjalanan Jakarta–Bandung

Simulasi Biaya Ekonomi Sebenarnya dari Perjalanan Jakarta–Bandung

Setiap moda transportasi memiliki “pelanggan rasional”-nya sendiri, tergantung seberapa mahal mereka menghargai waktu mereka.

Sumber Data (tabel di atas): Angka-angka dalam tabel ini merupakan ilustrasi. Validasi data eksternal menunjukkan: Harga tiket Whoosh berkisar Rp 150.000–Rp 250.000; Biaya mobil pribadi (bensin + tol) bervariasi, dengan tarif tol saja berkisar Rp 72.500–Rp 82.500 dan harga bensin Pertamax sekitar Rp 12.200/liter; Harga travel shuttle berkisar Rp 70.000–Rp 130.000; Harga tiket KA Parahyangan kelas eksekutif mulai dari Rp 200.000. Perhitungan “Biaya Waktu” didasarkan pada nilai waktu manajer sebesar Rp 78.000 per jam.

 

Konsekuensi Tak Terduga #2: Stasiun Hantu dan Para Pemenang Lotre Properti

Stasiun Karawang adalah anomali yang paling jenaka. Sebagai hub transportasi pada 2024, ia adalah sebuah kegagalan total dengan hanya 2.000 penumpang sepanjang tahun. Namun, di dunia properti, stasiun ini adalah sebuah tambang emas.

Tepat saat stasiun ini diresmikan pada Desember 2024, harga median properti di Karawang melonjak 13,9% dalam satu kuartal. Pengembang raksasa seperti Agung Podomoro segera meluncurkan proyek kota mandiri seluas 130 hektare di dekatnya. Para pemilik tanah dan pengembang ini seolah-olah memenangkan lotre triliunan rupiah. Mereka tiba-tiba mendapati aset mereka bersebelahan dengan infrastruktur canggih, seakan-akan mereka ikut patungan saja membangun rel dan stasiunnya.

Dan pertaruhan mereka terbayar. Stasiun “hantu” ini tiba-tiba hidup di tahun 2025, kini melayani 1.000 hingga 2.000 penumpang setiap hari. “Penumpang” sebenarnya dari Stasiun Karawang bukanlah orang-orang di dalam gerbong pada 2024, melainkan para investor properti yang bertaruh pada masa depan.

 

Pelajaran dari Spanyol

Sumber Data: Data Whoosh (Panjang, Kecepatan, Model Pendanaan, Penjaminan APBN, Target Penumpang, Dampak). Data AVE (Panjang, Kecepatan, Pendanaan & Tantangan, Volume Penumpang, Dampak).

Jadi, bagaimana sebuah proyek yang merugi bisa dibenarkan? Jawabannya ada pada sebuah konsep yang disebut “profitabilitas sosial”, sebuah ide yang dipelajari dari jaringan kereta cepat AVE di Spanyol. Nilai sebuah proyek publik tidak hanya diukur dari pendapatan tiketnya, tetapi dari total manfaat yang diberikannya kepada masyarakat—manfaat yang tidak pernah muncul di laporan keuangan KCIC. Manfaat “tak terlihat” ini meliputi penghematan waktu, potensi penurunan angka kecelakaan, hingga pertumbuhan ekonomi regional.

Sebuah studi penting di Spanyol menemukan angka ajaib: sebuah rute kereta cepat dianggap “menguntungkan secara sosial” jika mampu melayani 6,5 juta penumpang per tahun. Mari bandingkan dengan Whoosh. Sepanjang tahun 2024, ia mengangkut 6,06 juta penumpang. Dengan pertumbuhan penumpang naik 10% di semester pertama 2025 saja, Whoosh jelas berada di jalur untuk melampaui titik impas sosialnya.

Metrik Penilaian

Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?

Melihat Whoosh sebagai aset nasional yang menghasilkan nilai tersembunyi, bukan sekadar bisnis yang merugi, membuka beberapa langkah strategis yang jenius sekaligus logis. Lagipula, kereta ini sudah terlanjur jadi. Menghancurkannya bukan pilihan—itu seperti membongkar rumah hanya karena cicilannya panjang. Dan cicilannya memang super panjang. Dengan kabar terbaru bahwa tenor utang direstrukturisasi hingga 60 tahun, pertanyaan yang relevan bukan lagi “apakah proyek ini layak?”, melainkan “bagaimana cara membuat aset miliaran dolar ini bekerja untuk kita selama 60 tahun ke depan?”. Ini bukan soal menyelamatkan proyek dari kebangkrutan, tapi tentang mengoptimalkan mesin pencetak nilai yang sudah terlanjur menyala ini.

Pertama, saatnya menagih “uang kaget” para pemenang lotre properti. Ketika pemerintah membangun stasiun miliaran dolar dan harga tanah di sekitarnya meroket, adalah hal yang wajar jika pemerintah meminta sedikit bagian dari keuntungan tak terduga itu. Mekanisme value capture, seperti pajak khusus di zona pengembangan sekitar stasiun (TOD), bisa menjadi cara elegan untuk membuat para spekulan properti “ikut patungan” membiayai operasional kereta yang membuat mereka kaya.

Kedua, ubah kereta kelas bisnis ini menjadi “bus sekolah” untuk para eksekutif. Pertumbuhan penumpang yang ada membuktikan adanya pasar. Sekarang, saatnya mengubah pengguna sesekali menjadi pelanggan setia. Tawarkan tiket langganan bulanan yang menggiurkan, paket perjalanan korporat, dan harga dinamis yang membuat perjalanan di hari kerja menjadi pilihan yang tak terbantahkan. Tujuannya adalah membuat para komuter super ini tidak bisa membayangkan hidup tanpa Whoosh.

Ketiga, sembuhkan stasiun-stasiun hantu. Keberhasilan Stasiun Karawang di tahun 2025 menunjukkan bahwa permintaan bisa diciptakan. Kuncinya adalah membereskan masalah “mil terakhir” yang menjengkelkan. Kembangkan jaringan transportasi pengumpan (feeder) yang andal dan terjangkau, bukan hanya di Karawang tapi juga Tegalluar. Jika perjalanan dari stasiun ke tujuan akhir lebih mulus, lebih banyak orang akan memilih kereta.

Terakhir, jangan hanya menjual tiket kereta, jual seluruh pengalaman Bandung. Model kemitraan pariwisata yang sukses besar—di mana tiket Whoosh menjadi kupon diskon atau tiket masuk gratis—harus diperluas secara masif. Gandeng lebih banyak hotel, restoran, dan penyelenggara acara. Jadikan tiket Whoosh sebagai paspor sakti untuk menikmati semua yang ditawarkan Bandung.

Pada akhirnya, menilai Whoosh dari laporan keuangannya saja sama seperti menilai sebuah ponsel pintar dari kemampuannya untuk dijadikan ganjal pintu. Itu benar, tapi sama sekali tidak menangkap gambaran besarnya. Kerugian finansial yang tercatat di satu buku kasir adalah harga yang harus dibayar untuk membuka keuntungan sosial-ekonomi yang jauh lebih besar, yang tercatat di buku kasir lain yang tak terlihat. Kisah Whoosh bukanlah tentang angka merah, melainkan tentang bagaimana suntikan kecepatan yang masif dapat secara fundamental mengubah hubungan antara waktu, uang, dan takdir dua kota.

Stop Impor Gula, Hati-Hati Terpeleset Data

Artikel sebelumnya

Baca Juga