JAKARTA — Meski sudah meneken perjanjian perdagangan bebas, dan ongkos transport yang relatif murah, transaksi antar negara-negara anggota ASEAN masih sangat minim.
Dalam produk pangan, misalnya, perdagangan intra-ASEAN hanya sekitar seperlima dari ekspor impor bahan makanan dari dan ke kawasan ini.
Data UN-Comtrade mencatat, selama 2017 – 2022 ASEAN mengekspor produk makanan senilai US$974,4 milyar. Dari jumlah ini, hanya US$217 milyar yang dikirim menuju negara-negara anggota ASEAN. Sebaliknya, ASEAN harus mengimpor US$406 milyar pangan dari luar kawasan.
Mengapa transaksi pangan inter-ASEAN masih minim? Apakah komoditas yag dibutuhkan tak dapat disediakan oleh sesama anggota ASEAN?
Kawasan surplus pangan
Sejauh ini, ASEAN merupakan salah satu kawasan surplus pangan raksasa di dunia. Selama lima tahun terakhir, ASEAN mengekspor US$974,4 milyar pangan, dan hanya mengimpor US$592,2 milyar. Artinya, kawasan ini menikmati surplus pangan hingga lebih dari US$380 milyar.
Jika dirinci, surplus terbesar dinikmati oleh Thailand. Selama periode tersebut, Thailand mencatat surplus pangan senilai US$161 milyar, disusul Indonesia (surplus US$103 milyar), dan kemudian Malaysia (US$64 milyar).
Sementara itu, defisit pangan terbesar dialami Filipina yang minus US$39 milyar, diikuti Brunei US$3,8 milyar, dan Laos US$3,6 milyar.
Sayangnya, defisit pangan di negara-negara itu, tak sepenuhnya dapat ditutup oleh negara-negara ASEAN yang surplus.
Surplus sawit, defisit serealia
Dari sisi komoditas, ekspor pangan terbesar ASEAN berupa produk minyak nabati, terutama sawit. Maklum, Indonesia dan Malaysia, dua negara di kawasan ini merupakan produsen sawit tebesar di dunia.
Selama 2017 – 2022, total ekspor minyak nabati dari kedua negara ini mencapai US$255 milyar. Jumlah ini jauh melebihi kebutuhan negara-negara ASEAN. Wajar jika sebagian besar komoditas tersebut diekspor hingga ke luar kawasan.
Sementara itu, produk pangan yang paling banyak diimpor ASEAN adalah biji-bijian atau serealia. Selama periode yang sama, tiga negara ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia dan Vietnam, mengimpor sekitar US$52 milyar serealia.
Dari kebutuhan ini, tak sampai US$6 milyar atau hanya 11,5% yang didatangkan dari Thailand. Sebagian besar sisanya (hampir 90%) malah diimpor dari luar kawasan – yang lebih jauh (ongkos angkutnya lebih mahal), dan boleh jadi tidak bebas bea-masuk.
Padahal, dalam periode yang sama, Thailand yang jaraknya lebih dekat, tercatat mengalami surplus produk biji-bijian, terutama beras, hingga US$38 milyar. Sekitar 84% dari surplus ini, malah diekspor ke luar ASEAN.
Dalam hal poduk jagung, misalnya, Indonesia lebih banyak mengimpor dari Argentina, Brasil, dan Amerika Serikat. Hanya sebagian kecil yang didatangkan dari Thailand.
Sementara itu, Thailand mengekspor sebagian besar surplus jagungnya ke Pakistan, Filipina, dan bahkan sampai ke Ekuador di Amerika Selatan.
Pajak dan ongkos angkut murah
ASEAN merupakan pasar kolosal dengan jumlah konsumen hingga 700 juta orang – hampir 10% dari penduduk dunia. Sejak krisis keuangan 1998, tingkat pertumbuhan ekonomi di kawasan ini tercatat paling laju dan paling stabil.
International Monetary Fund (IMF) mencatat, pada 2022 perekonomian negara-negara ASEAN tumbuh rata-rata 3,8 persen, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan global yang hanya 2,6 persen.
Bank Pembangunan Asia (ADB) juga memperkirakan, tahun ini ASEAN akan tumbuh 4,7%. Ini pertumbuhan yang istimewa mengingat bagian dunia yang lain sedang melambat, di tengah ancaman inflasi dan kebijakan uang ketat bank-bank sentral.
Gagasan untuk menjadikan kawasan ini sebagai satu “pasar tunggal”, bukan ide baru. Jarak antarnegara relatif lebih dekat, sehingga ongkos angkutnya lebih murah. Selain itu, produk kawasan ini cukup beragam dan saling melengkapi.
Indonesia dan Malaysia misalnya, surplus minyak sawit dan produk perikanan laut, sedangkan Thailand unggul dalam komoditas beras, gula pasir, dan buah-buahan.
Untuk itu, sejak awal 1990an, negara-negara Asia Tenggara telah meneken perjanjian perdagangan bebas, dan menurunkan tarif bea masuk secara bertahap.
Kawasan perdagangan bebas dapat menekan ongkos akibat tarif yang tinggi. Selain itu juga akan mengurangi distorsi akibat proteksi pada industri yang tak efisien, meningkatkan skala ekonomi, sekaligus mendorong persaingan dan kolaborasi usaha antarnegara.
Sudah saatnya, penerapan kawasan perdagangan bebas ASEAN digenjot untuk menekan biaya, sekaligus meningkatkan ketahanan pangan di negara-negara Asia Tenggara.