Persoalan Pemerintah Daerah: Tidak Ada yang Mandiri

JAKARTA – Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri belanjanya, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. Datanesia mengukurnya dengan melihat persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari seluruh kabupaten/ kota di satu provinsi terhadap total penerimaan daerah.

Hasil dari persentase tersebut menentukan tingkat kemandirian fiskal pemerintah daerah, yang mengacu pada pengelompokan dari Badan Pusat Statistik:

I. Tingkat kemandirian fiskal rendah sekali
Persentase 0-25% menunjukkan bahwa pemerintah pusat memiliki peran yang dominan dibandingkan pemerintah daerah.

II. Tingkat kemandirian fiskal rendah
Persentase 25-50% menunjukkan bahwa campur tangan pemerintah pusat mulai berkurang. Daerah yang masuk kelompok ini dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.

III. Tingkat kemandirian fiskal sedang
Persentase 50-75% menunjukkan daerah yang sudah mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.

IV. Tingkat kemandirian fiskal tinggi
Untuk persentase lebih dari 75%, pemerintah daerah dianggap mampu dan mandiri melaksanakan otonomi daerah.

Berdasarkan hasil analisis Datanesia dengan data tahun 2022, tidak ada satu pun daerah yang termasuk memiliki kemandirian fiskal tinggi. Skor tertinggi diperoleh DKI Jakarta, yaitu dengan porsi PAD sebesar 72,5% terhadap total penerimaan daerah. Ini menunjukkan kemandirian “Fiskal Sedang”. Hanya DKI Jakarta yang masuk dalam kelompok ini.

Sementara itu, ada sembilan provinsi yang masuk dalam kelompok tingkat kemandirian “Fiskal Rendah Sekali”, yaitu: Riau, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur. Selain itu, Banten, Bali dan Kalimantan Selatan termasuk dalam kategori ini.

Sebanyak 24 provinsi lainnya masuk dalam kategori provinsi dengan tingkat kemandirian “Fiskal Rendah”, yaitu: Papua Barat ada di peringkat bontot dengan porsi PAD sebesar 4,6%.

Analisis tersebut juga menunjukkan bahwa belanja pegawai membebani keuangan daerah. Kecuali DKI Jakarta, semua daerah cenderung belum mandiri tapi boros dalam mengalokasikan anggaran untuk belanja pegawai.

DKI Jakarta dengan porsi PAD mencapai 72,5% penerimaan daerah atau sebesar Rp45 triliun, menghabiskan hanya Rp17 triliun untuk belanja pegawai. Fakta ini menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi yang mampu mengandalkan keuangan daerah untuk belanja pegawai.

Sementara Bali yang menghasilkan PAD Rp9 triliun atau 47,4% dari total penerimaannya, mengalokasikan Rp8 triliun untuk belanja pegawai. Banten dengan PAD sebesar Rp17 triliun atau 48,9% dari total penerimaan, mengalokasikan Rp11 triliun.

Pemerintah daerah di Jawa Timur yang memiliki total belanja pegawai tertinggi yaitu Rp40 triliun, ternyata hanya menghasilkan PAD Rp42 triliun. Papua Barat dan Sumatera Barat mungkin menjadi contoh keuangan daerah yang masih sangat bergantung pada pemerintah pusat.

Papua Barat menghasilkan PAD sebesar Rp 916 miliar pada 2022, tetapi anggaran belanja pegawainya mencapai Rp3,7 triliun. Sumatera Barat yang anggaran belanja pegawainya Rp9,1 triliun, hanya menghasilkan PAD Rp2,3 triliun.

Pada akhirnya, lungsuran dana dari pemerintah pusat yang menopang belanja pegawai di banyak daerah di Indonesia. Beban ini terus ditanggung hingga sekarang.

Download Edisi White Paper

Provinsi Teririt Vs Terboros Keluarkan Belanja Pegawai

Artikel sebelumnya

Ancaman Kemiskinan Dari Gejolak Harga Pangan

Artikel selanjutnya

Baca Juga