JAKARTA — Jika anda membeli sebungkus rokok, kemana duit itu mengalir? Ke pemilik pabrik rokok, itu sudah pasti. Sebagian yang lain akan masuk ke kas pemerintah sebagai uang cukai.
Sebagian lagi ke kantong petani tembakau dan pabrik kertas untuk biaya bahan baku. Dan sebagian yang lain ke karyawan dan buruh pabrik untuk gaji dan upah. Mungkin ada yang masuk ke stasiun televisi atau radio untuk biaya iklan. Juga penyelenggara konser musik sebagai ongkos promosi.
Kira-kira, berapa besar bagian dari masing-masing pihak? Apa benar duit rokok sebagian besar mengalir ke rekening pemilik pabrik sehingga mereka jadi superkaya, dan selalu nangkring pada ranking teratas orang-orang paling kaya Indonesia?
Datanesia mencoba menjawab pertanyaan ini dengan melacak laporan keuangan perusahaan rokok. Saat ini, setidaknya ada empat pabrik rokok yang sudah terdaftar di pasar modal: Gudang Garam, HM Sampoerna, Bentoel, dan Wismilak. Mereka melaporkan kinerja keuangan yang telah diaudit kepada publik secara reguler.
Porsi terbesar: bayar cukai
Menurut laporan keuangan 2021, sebagian besar hasil penjualan rokok ternyata mengalir deras ke kas negara. Keempat perusahaan tersebut menjual rokok senilai Rp240 triliun pada 2021. Dari jumlah ini, sekitar dua pertiganya (persisnya Rp161,4 triliun) dibayarkan untuk membeli pita cukai.
Kalkulasi ini memang harus disertai catatan: Gudang Garam memasukkan pembayaran pajak PPN dan “pajak rokok” ke dalam pos cukai. Begitu juga Wismilak yang memasukkan pajak PPN ke pos yang sama. Jadi bukan sekadar cukai.
Gambaran setoran cukai yang murni tampak dari laporan keuangan HM Sampoerna dan Bentoel. HM Sampoerna, pemimpin pasar rokok di Indonesia dari sisi volume, berhasil menjual rokok senilai Rp98,9 triliun pada 2021. Dari jumlah ini, Rp65 triliun (66%) disetorkan sebagai cukai. Sementara Bentoel, dari Rp8,407 triliun hasil penjualan, hampir separuh (persisnya 46%) yang disisihkan untuk membeli cukai.
Mengapa porsi setoran cukai dari setiap perusahaan rokok berbeda nilainya? Sebabnya: produknya berbeda, dengan tarif cukai yang berlainan pula. Rokok yang dilinting tangan (disebut sigaret kretek tangan alias SKT) dikenakan tarif cukai lebih rendah dari rokok produksi mesin (sigaret kretek mesin – SKM).
Tarif cukai rokok SKT Dji Sam Soe produksi HM Sampoerna, misalnya, Rp440 per batang. Sementara itu, rokok SKM Sampoerna A-mild dari pabrik yang sama membayar cukai dengan tarif hampir tiga kali lipat, yaitu Rp1.101 per batang.
Tarif cukai rokok SKT ditetapkan lebih rendah sebagai semacam insentif bagi pabrik rokok lantaran menyerap lebih banyak buruh ketimbang pabrik rokok SKM. Karena itu, perusahaan yang lebih banyak membuat rokok linting tangan seperti Wismilak cenderung membayar tarif cukai lebih murah – meski dengan risiko porsi upah buruh yang lebih mahal.
Bukan cuma untuk petani lokal
Setelah setoran cukai, porsi biaya terbesar kedua bagi pabrik rokok adalah bahan baku. Nilainya bervariasi, antara 8-32 persen dari total penerimaan, tergantung pada jenis dan sumber tembakau dan kertas pembungkusnya.
HM Sampoerna tercatat sebagai perusahaan dengan belanja bahan baku paling efisien, hanya 8% dari total sales. Gudang Garam menghabiskan 12%, sedangkan Bentoel sampai 32%.
Biaya bahan baku ini tak selamanya masuk kantong petani tembakau lokal atau pabrik kertas. Sebagian juga mengalir ke petani atau pedagang tembakau di luar negeri.
Bentoel, misalnya, banyak melakukan transaksi (jual dan beli) bahan baku dengan perusahaan induk (British American Tobacco). Laporan keuangan Bentoel 2021 menyebut, transaksi jual beli Bentoel dengan BAT mencapai Rp887 miliar.
Bagian biaya yang lain adalah upah buruh. Rata-rata pabrik rokok menghabiskan 3 – 11 persen hasil penjualannya untuk biaya tenaga kerja, baik sebagai gaji pegawai maupun upah buruh. Gudang Garam membelanjakan 3% sales untuk biaya tenaga kerja, sedangkan Wismilak yang lebih banyak memproduksi SKT membelanjakan 11%.
Di luar itu, masih ada biaya-biaya lain seperti promosi, pengangkutan, penyusutan, overhead pabrik, dan biaya utilitas. Tapi porsinya sangat kecil. Rata-rata di bawah dua persen jika dihitung dari total penerimaan perusahaan.
Porsi terkecil: keuntungan pemilik
Jika sebagian besar penghasilan habis untuk bayar cukai, lalu berapa keuntungan yang diterima juragan rokok? Ternyata kecil sekali. Bagian keuntungan bagi pemegang saham merupakan salah satu porsi terkecil dalam komposisi aliran dana rokok.
Merujuk pada laporan keuangan 2021, porsi laba terbesar dinikmati pemilik HM Sampoerna dan Wismilak dengan margin tujuh persen. Sementara Gudang Garam yang berhasil mencetak penjualan Rp124,9 triliun (terbesar di antara ke-empat pabrik rokok), margin labanya hanya lima persen. Bentoel, dengan penjualan Rp8,4 triliun, untungnya cuma Rp8 miliar atau tidak sampai 0,1%.
Sumber penerimaan negara atau pajak dosa?
Penting untuk direnungkan, jika tujuh sampai delapan persen margin saja dapat mengantarkan para pemiliknya menjadi orang-orang terkaya Indonesia, bagaimana dengan setoran cukai yang nilainya lima sampai delapan kali lipat dari laba untuk para pemilik?
Laporan keuangan pemerintah menunjukkan peran cukai tembakau terhadap penerimaan negara memang semakin menonjol. Lima belas tahun lalu, pada 2008, penerimaan cukai hasil tembakau (sebagian terbesar berasal dari rokok) kurang dari Rp50 triliun atau sekitar 5% penerimaan negara. Tahun 2021 lalu, penerimaan cukai hasil tembakau sudah berlipat hampir empat kali mencapai Rp189 triliun atau 9% dari penerimaan negara.
Dengan jumlah dan porsinya yang kian meningkat, apakah kita masih memperlakukan cukai sebagai sin-tax (“pajak dosa”) untuk menekan konsumsi barang berbahaya? Atau mengelolanya sebagai alternatif sumber penerimaan negara?