Kalimantan Timur Terseret para Penyokong yang Loyo

JAKARTA – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) tak kebal dari tekanan pandemi Covid-19, seperti halnya wilayah lain di bumi ini. Ironis, Benua Etam tak mampu segera memperbaiki perekonomiannya, kendati harga batu bara –komoditas yang banyak terpendam di perut Kaltim- terus melonjak tak terkendali sejak 2021 hingga saat ini.

Pada 2021, ekonomi Kaltim hanya mampu tumbuh 2,5% secara tahunan (year on year/yoy), jauh di bawah 2019 yang 4,7%. Bahkan pada 2020, menyusut lebih dalam dibandingkan perekonomian nasional yang terkontraksi 2,1%.

Bahkan di antara lima provinsi di Pulau Kalimantan, kinerja perekonomian Kaltim merupakan yang terburuk. Di gelanggang nasional, Kaltim termasuk provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah pada 2021, setelah Bali, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat dan Gorontalo.

Sebelum pandemi, ekonomi Kaltim memang belum pernah mampu tumbuh di atas capaian ekonomi nasional, begitu pun dibandingkan ekonomi Kalimantan secara keseluruhan. Kinerja provinsi ini memang unik. Pada beberapa periode misalnya, di saat ekonomi nasional dan Pulau Kalimantan tumbuh positif, Kaltim justru menyusut.

Anomali itu terjadi pada 2013, 2015 dan 2016, yang masing-masing terkontraksi 6,6%, 1,2% dan 0,4% (yoy). Padahal, ekonomi Indonesia dan Kalimantan masih dapat tumbuh positif pada tahun-tahun tersebut. Kaltim memang beda.

Sebenarnya kondisi ini cukup mengkhawatirkan, mengingat porsi perekonomian Kaltim terhadap total Kalimantan hampir separuh, yaitu 49,7%. Dengan begitu, gejolak perekonomian Kaltim adalah ancaman serius bagi Kalimantan.

Hingga saat ini, perekonomian Kaltim masih ditopang oleh sektor pertambangan dan penggalian yang pada 2021 kontribusinya mencapai 45,1%. Mirisnya, kinerjanya cenderung lambat, karena hanya mampu tumbuh 2,3% (yoy) di tengah pesta-pora pengusaha batu bara lantaran harga komoditas sedang bertengger di puncak.

Industri pengolahan menempati posisi kedua sebagai kontributor utama ekonomi Kaltim, dengan sumbangan 17,8%. Sektor ini pun hanya mampu tumbuh 2,3% lantaran penyokongnya yang sedang loyo.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, industri batu bara dan pengilangan migas berkontribusi 55,3% terhadap industri pengolahan Kaltim pada 2021. Ketika kinerja industri penyokong tersebut sedang layu, sektor pengolahan pun sepi aktivitas.

Penopang lainnya adalah sektor konstruksi yang kontribusi 9,0% yang tumbuh lumayan tinggi, yaitu 4,4%. Dengan kontribusinya yang rendah, tentu sulit mengangkat Kaltim. Bahkan sektor pertanian yang menyumbang perekonomian Kaltim 8,5%, justru masih mengalami kontraksi alias tumbuh minus.

Dari sisi pengeluaran, perekonomian Kaltim sangat bergantung pada ekspor barang dan jasa, dengan porsi ekspor bersih (net export) mencapai 48,7% pada 2021. Kondisi ini menyebabkan ekonomi Kaltim sangat rentan terhadap guncangan eksternal, terutama fluktuasi harga komoditas batu bara yang merupakan komoditas ekspor utamanya.

Kinerja ekspor juga sangat tergantung pada kondisi sektor pertambangan dan penggalian. Penurunan kinerja lapangan usaha yang mengeduk isi perut bumi itu akan memperlambat kinerja ekspor, begitu pun sebaliknya. Selebihnya, perekonomian Kaltim ditopang oleh investasi dengan kontribusi 30,2% dan pengeluaran konsumsi rumah tangga 16,6%.

Download Edisi White Paper

Memetakan Peluang Ekonomi Wilayah: Pekanbaru

Artikel sebelumnya

Memetakan Peluang Ekonomi Wilayah: Palembang

Artikel selanjutnya

Baca Juga