JAKARTA – Potensi ekonomi Sulawesi Tengah terbentang dari pariwisata hingga sumber daya mineral. Dalam dokumen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) terbitan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Sulteng kaya dengan bahan galian golongan A (strategis) seperti minyak, gas bumi, batu bara, emas dan nikel yang banyak terletak di Kabupaten Banggai dan Morowali, maupun bahan galian golongan C (tidak strategis dan vital) seperti granit, marmer, pasir besi dan lain-lain.
Sebagai penunjang nilai tambah dari aktivitas pertambangan dan penggalian bahan tambang mineral, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang mengatur perusahaan mineral harus melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Regulasi yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tersebut mendorong maraknya pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) berbagai mineral tambang di Indonesia, termasuk di Sulteng.
Menurut catatan Pemerintah Provisi Sulteng hingga semester pertama 2017, sudah ada sekitar 20 smelter nikel. Misalnya, PT Sulawesi Mining Investment (SMI), PT Indonesia Guang Ching Nickel And Stainless Steel Industry (IGCNSSI) yang terletak di area PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yakni kawasan industri berbasis nikel dengan rantai industri terpanjang di dunia yang memiliki produk utama berupa nikel, stainless steel dan carbon steel.
Ada juga PT Anugerah Tambang Smelter (ATS) yang berada di KEK Palu dan bergerak di bidang pertambangan nikel dan industri smelter. Belum lama ini, Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik smelter nikel milik PT Gunbuster Nickel Industry yang berada di Morowali Utara Sulawesi Tengah pada Desember 2021.
Dalam rangka mendorong percepatan pembangunan di Sulteng, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2014, dibangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu. Ini merupakan kawasan pertama yang didesain oleh pemerintah sebagai pusat logistik terpadu dan industri pengolahan pertambangan di koridor ekonomi Sulawesi.
KEK seluas 1.500 hektar ini dibagi dalam tiga zona: zona industri, zona logistik dan zona pengolahan ekspor. Secara khusus, KEK Palu diharapkan mendorong hilirisasi industri logam dan meningkatkan nilai tambah dari komoditi agro unggulan di Pulau Sulawesi seperti kakao, rumput laut, dan rotan. KEK Palu diproyeksikan menarik investasi sebesar Rp92,4 triliun dan diproyeksikan menyerap tenaga kerja 97.500 orang hingga 2025. Kehadiran KEK dan maraknya pembangunan smelter mendorong perkembangan industri pengolahan di Sulteng hingga tumbuh 19,6% (yoy). Sektor ini menjadi penyumbang utama ekonomi Sulteng dengan kontribusinya yang mencapai 33,8%.
Demikian juga dengan sektor pertambangan dan penggalian yang berada posisi ketiga dengan kontribusinya sebesar 14,1%, mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,3% (yoy). Pertumbuhan tersebut ditopang oleh pertambangan bijih logam yang tumbuh 19,1% dan menyumbang 67% terhadap sektor pertambangan dan penggalian Sulteng secara keseluruhan. Sementara, sektor pertanian yang menyumbang 18,9%, tertinggi kedua dalam perekonomian Sulteng, hanya mampu tumbuh 4,8% (yoy).
Perkembangan di industri pengolahan serta pertambangan dan penggalian ikut mendorong peningkatan aktivitas ekspor Sulteng. Pada 2021, pertumbuhannya mencapai 23,7%. Ekspor barang dan jasa mendominasi perekonomian Sulteng yang mencakup lebih dari separuh PDRB, yaitu 91,8% pada tahun 2021.
Aktivitas ekspor Sulteng selama Januari-Desember 2021 didominasi oleh dua kelompok komoditas utama. Pertama, kelompok besi dan baja dengan nilai ekspor US$10,7 miliar dengan kontribusi 88,4% terhadap total ekspor Sulteng. Kedua, kelompok bahan bakar mineral senilai US$1 miliar dengan kontribusi 8,3%.
Ketergantungan ekonomi yang besar terhadap aktivitas ekspor barang dan jasa tentunya memiliki risiko, karena dominannya pengaruh eksternal, baik secara politik maupun perubahan harga di pasar internasional. Kondisi ini membuat perekonomian Sulteng sangat rentan terhadap guncangan eksternal.
Seiring dengan tingginya ekspor, kegiatan impor barang dan jasa juga marak. Bahkan tumbuh lebih tinggi dari ekspornya, yakni 36,3% (yoy) pada 2021. Kontribusi impor dalam menopang perekonomian Sulteng mencapai 84%. Komoditas yang mendominasi impor adalah besi dan baja senilai US$2 miliar selama Januari-Desember 2021, atau 28,1% terhadap total impor Sulteng. Disusul oleh impor bijih, kerak, dan abu logam sebesar 14,4% dan bahan bakar mineral sebesar 15,9%.
Sayangnya, kinerja perekonomian yang menjulang di Sulteng ternyata belum mampu menyerap tenaga kerja dengan baik. Pada 2021 misalnya, sektor industri pengolahan hanya mampu menyerap 6,6% dari total tenaga kerja Sulteng. Bahkan dalam lima tahun terakhir, rata-ratanya hanya 6,9%. Padahal, sektor ini merupakan tumpuan harapan lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan dan penggalian bahkan jauh lebih rendah lagi. Sebagai kontributor ekonomi Sulteng terbesar ketiga, pada 2021 hanya mampu menyerap 2,1% dari total tenaga kerja setempat. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata hanya menampung 1,8% saja.
Angkatan kerja terbesar di Sulteng masih ada di sektor pertanian yang rata-rata menyerap 42,3% per tahun sepanjang 2017-2021. Kemudian disusul sektor perdagangan serta administrasi pemerintahan.
Rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektorsektor utama penopang ekonomi Sulteng bukan disebabkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Secara umum, masyarakat di wilayah itu termasuk berpendidikan dengan usia lama sekolah 8,9-13,32 tahun. Karena itu, Sulteng tidak termasuk dalam 10 provinsi terendah dari sisi pendidikan di Indonesia.
Selain itu, jika dilihat dari tingkat pengangguran terbuka, angka tertinggi ditempati oleh level universitas yang mencapai 8,9% pada 2020, bertambah dari 2,8% di tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan daya serap sektor usaha di Sulteng masih rendah, walaupun pertumbuhan ekonominya tinggi.
Tingginya pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh perkembangan industri pengolahan logam juga tidak dibarengi dengan peningkatan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulteng. Secara umum, terlepas dari tingginya pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut, tidak banyak mendorong PAD untuk periode 2017-2019. Baru pada 2021, PAD Sulteng meningkat 23% dari Rp1,1 triliun pada 2020 menjadi Rp1,4 triliun.
Kontribusi yang kurang bergairah terhadap penyerapan tenaga dan PAD, membuat kinerja perekonomian Sulteng yang melesat seperti hanya ilusi. Besar di angka, namun tetesannya tak terasa hingga ke daerah: warga maupun provinsi.