JAKARTA – Industri kesehatan di Tanah Air memiliki catatan tak sedap dari sisi kemandirian. Nyaris babak-belur saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Impor produk farmasi dan perlatan kesehatan melonjak tajam. Defisit perdagangan di sektor ini pun kian dalam.
Dalam Poduk Domestik Bruto (PDB), sektor kesehatan terdisi atas dua kelompok: jasa kesehatan serta industri kimia, farmasi dan obat tradisional. Perannya sangat penting untuk menjadi perhatian, mengingat kontribusinya terhadap perekonomian terus tumbuh walaupun masih kecil.
Pada 2020 dan 2021 misalnya, porsi sektor jasa kesehatan terhadap PDB Indonesia sebesar 1,3%, meningkat dari 1,1% pada 2019. Begitu juga dengan porsi industri kimia, farmasi dan obat tradisional dari 1,7% pada 2019 menjadi 1,9% pada tahun berikutnya, dan 2,0% pada 2021.
Selama pandemi, sektor jasa kesehatan meningkat cukup signifikan hingga tumbuh 11,6% (yoy) pada 2020 setelah sebelumnya hanya tumbuh sebesar 8,7% (yoy) pada 2019. Catatan tersebut merupakan rekor baru dalam 10 tahun terakhir. Bahkan dibandingkan kinerja ekonomi nasional, pertumbuhan sektor jasa kesehatan selalu lebih tinggi.
Sejalan dengan meningkatnya sektor jasa kesehatan, sektor industri kimia, farmasi dan obat tradisional juga tumbuh 9,4% (yoy) pada 2019, lalu tumbuh lebih tinggi pada 2021 hingga 9,6% (yoy). Namun masih di bawah kinerja 2012, yaitu saat tumbuh 12,8%. Kendati demikian, kontribusinya terhadap perekonomian nasional lebih tinggi ketimbang jasa kesehatan.
Pertumbuhan tinggi pada sektor kesehatan, yaitu jasa dan produk farmasi ini ikut menopang kinerja ekonomi Indonesia, sehingga tidak terkontraksi lebih dalam selama pandemi.
Terlepas dari peran penting sektor kesehatan dalam menopang perekonomian nasional, pandemi Covid-19 juga memberikan pelajaran penting dengan semakin membuka wajah sektor kesehatan yang coreng-moreng. Tak kuasa berdiri tegak tanpa sokongan produk impor yang akhirnya membuat defisit perdagangan sektor tersebut kian dalam.
Sektor farmasi misalnya, termasuk di dalamnya vaksin, baik vaksin pertusis, campak, meningitis atau polio; dan juga obat-obatan, termasuk obat yang mengandung insulin, hormon, serta antibiotik; harus dipenuhi melalui impor dari luar negeri. Sungguh tak terduga.
Nilai impor produk farmasi Indonesia selalu lebih tinggi dibanding ekspor dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya, neraca perdagangan sektor farmasi selalu defisit. Kondisi ini menunjukkan betapa rentannya sektor kesehatan nasional, terutama jika terjadi guncangan eksternal pada negara pemasok. Kerentanan ini tentu tidak hanya berpengaruh terhadap sektor kesehatan saja, tapi juga bagi kesehatan sekitar 270 juta warga.
Sejalan dengan kebutuhan obat-obatan yang meningkat selama pandemi, defisit neraca perdagangan produk farmasi ikut melonjak. Pada 2020, nilainya mencapai US$566 juta, meningkat 59,05% dari tahun sebelumnya.
Selain itu, upaya pemerintah untuk memutus rantai Covid-19 dengan menggalakkan vaksin ke seluruh pelosok Indonesia juga telah menyebabkan defisit semakin dalam pada 2021, yaitu mencapai US$3,8 miliar atau melonjak 571,61% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini akibat nilai impor yang mencapai US$4,4 miliar sementara ekspornya hanya sebesar US$556 juta.
Tercatat, produk farmasi dengan impor tertinggi pada tahun 2021 adalah vaksin untuk pengobatan manusia, yang ditengarai merupakan vaksin Covid-19. Bukan vaksin tetanus toksoid dan pertusis, campak, meningitis atau polio. Nilainya mencapai US$3,2 miliar, 85,8% dari total impor produk farmasi. Defisit ini merupakan biaya yang harus dibayar oleh perekonomian nasional akibat sektor kesehatan yang loyo.