JAKARTA – Tenaga kerja termasuk kunci penting bekerjanya ekonomi suatu negara. Dalam perekonomian, tenaga kerja satu di antara faktor produksi yang dapat menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan. Tanpa tenaga kerja, aktivitas produksi, bahkan konsumsi yang menjadi penopang utama perekonomian nasional, bakal macet.
Sedemikian penting perannya, serba-serbi ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang Undang No.13 Tahun 2013. Selanjutnya diperbarui dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sekadar catatan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau produk serta jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun masyarakat. Dengan kata lain, setiap orang yang mampu bekerja bisa disebut sebagai tenaga kerja. Menurut BPS, penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih.
Indonesia menyimpan 8,4 juta penduduk yang belum atau tidak bekerja alias tingkat pengangguran terbuka (TPT). Jumlah itu setara dengan 5,8% dari total angkatan kerja Indonesia pada Februari 2022.
Mengacu pada usia, penduduk yang belum atau tidak bekerja justru didominasi oleh generasi milenial yang seharusnya masih sangat produktif, yakni 15-19 tahun, disusul oleh usia 20-24 tahun. Wilayah perkotaan masih menjadi kantong-kantong pengangguran, yaitu mencapai 8,3%, hampir dua kali lipat lebih tinggi daripada wilayah perdesaan yang hanya 4,2%.
Tragisnya, dari sisi pendidikan justru yang paling banyak menganggur adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dikenal juga dengan sekolah vokasi. Porsinya mencapai 11,1% dari total pengangguran terbuka pada Februari 2022. Padahal, pendidikan vokasi menjadi tumpuan utama untuk mengurangi beban pengangguran.
Pendidikan vokasi memang dirancang agar lulusannya bisa langsung terserap dunia kerja atau berwirausaha dalam bidang tertentu. Jika lulusannya justru menjadi penyumbang terbesar pengangguran, boleh jadi karena ada kesenjangan atau mismatch antara kompetensi teknis yang diperoleh dari lembaga pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha yang terus berkembang.
Seperti dipublikasikan Jurnal Ekonomi dan Pembangunan terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2021, horizontal mismatch atau latar belakang pendidikan tak sesuai kualifikasi pekerjaan mencapai 68,4%. Ini berarti sebagian besar pekerja beraktivitas di luar kompetensi atau ada ketidakcocokan antara pendidikan yang ditempuh dengan aktivitas pekerjaan yang dijalankan.
Selain itu, ada juga vertical mismatch. Contoh gampangnya adalah sarjana mengerjakan bidang atau tugas yang seharusnya dapat dilakukan oleh karyawan dengan kualifikasi lulusan SMA. Hal ini berpengaruh terhadap upah yang diterima, yaitu lebih rendah.
Kasus SMK ini adalah tragedi yang tak patut dibiarkan. Karena itu, perlu obat mujarab untuk mempersempit kesenjangan yang ada.