3 Indikator Utang yang Sehat

JAKARTA – Seperti diingatkan Jan Gottschalk, Ekonom Senior IMF, setidaknya ada tiga indikator kondisi utang masih dianggap sehat: batasan utang, terhindar dari “Skema Ponzi”, dan menjaga tingkat solvabilitas. Indikator ini, terutama bertujuan untuk menghindari jebakan utang, yaitu jangan sampai utang seperti candu.

Indikator pertama, rasio utang terhadap PDB setidaknya dalam kondisi stabil atau terus turun. Kondisi ini pernah terjadi setelah masa reformasi hingga 2012. Pada 2013 mulai naik, dan terus menanjak secara konsisten sejak 2015 hingga saat ini.

Dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), jumlah utang pemerintah rata-rata tumbuh 24,9% per tahun, dari Rp1.978 triliun pada 2012 menjadi Rp6.911 triliun di 2021. Rasionya terhadap PDB juga makin menjulang, dari 23,0% menjadi 40,7%.

Indikator kedua, terhindar dari “Skema Ponzi”. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar agar pembayaran utang tidak melalui penerbitan utang baru. Jangan sampai utang dan bunganya berputar terus: dari utang untuk membayar utang.

Kondisi ini, antara lain dapat dilihat dari struktur anggaran pemerintah yang secara umum terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih antara belanja dengan pendapatan disuntik oleh pembiayaan. Umumnya ya dari pinjaman.

Pembiayaan bersih yang positif menunjukkan penarikan utang baru lebih besar dibandingkan kebutuhan dalam menambal anggaran. Kelebihan itu, kemudian masuk dalam akun yang dikenal dengan SILPA/SIKPA: sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran.

Pada 2020, nilai SILPA mencapai Rp246 triliun, kemudian menjadi Rp97 triliun di 2021. Walaupun jauh lebih rendah, namun posisi tahun lalu itu merupakan yang terbesar, setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Tampaknya pemerintah “main aman”, boleh jadi ada biaya yang harus dicadangkan untuk awal tahun berikutnya.

Terlepas dari soal pencadangan untuk mengamankan arus kas tersebut, pemerintah selalu memiliki pembiayaan bersih: penerimaan pembiayaan –penarikan utang- lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk pembiayaan. Misalnya untuk membayar pokok pinjaman.

Persoalannya, kelebihan anggaran yang berasal dari pembiayaan bersih itu merupakan tambalan dari pinjaman. Tentu ini beban, karena pemerintah harus membayar bunga atas kelebihan anggaran tersebut.

Indikator ketiga, Gottschalk menyebutnya sebagai solvabilitas atau kemampuan memenuhi kewajiban. Dalam konteks anggaran yang sehat, idealnya utang dibayar melalui surplus fiskal. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengusahakan tercapainya surplus (primer) dalam anggarannya.

Persoalannya, kebijakan fiskal ekspansif yang dianut pemerintah sejak lama mengakibatkan defisit neraca anggaran yang seolah tidak pernah dibenahi. Bahkan sejak 2012 neraca keseimbangan primer terus negatif, dan nilainya semakin menggelembung terutama pada 2020, 2021 dan 2022.

Pada 2021 misalnya, defisit keseimbangan primer mencapai Rp432 triliun. Setelah ditambahkan dengan pembayaran bunga utang serta pembiayaan lainnya sehingga menjadi neraca anggaran, defisitnya kian dalam, yaitu Rp775 triliun.

Download Edisi White Paper

Gottschalk: Waspadai Jebakan Utang

Artikel sebelumnya

Kemampuan Bayar Utang Kian Lesu

Artikel selanjutnya

Baca Juga