JAKARTA – Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat termasuk lumbung pangan strategis, terutama untuk komoditas beras. Menurut data BPS 2021, surplus beras Jawa Timur mencapai 2,7 juta ton, Jawa Tengah 3,0 juta ton dan Jawa Barat 1,4 juta ton. Tragisnya, masih ada warga yang pernah tidak makan dalam sehari penuh di wilayah tersebut. Termasuk di DKI Jakarta, ibu kota negara.
Informasi tersebut merupakan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) edisi Maret 2021 yang diselenggarakan oleh BPS. Alasan tidak makan bukan sedang berpuasa, melainkan ada keterbatasan sumber daya, baik berupa uang untuk membeli maupun komoditasnya lantaran tak memiliki fasilitas produksi.
Jumlah warga yang paling banyak pernah tidak makan seharian penuh ada di Jawa Barat, yang pada 2021 mencapai sekitar 718 ribu jiwa. Sementara di lumbung beras lainnya, yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing 239 ribu dan 193 ribu. Mengingat mereka tinggal di wilayah penghasil beras, maka kemungkinan besar yang dialami adalah ketidakmampuan dari sisi sumber dana.
Naik-Turun Harga Makanan
Harga yang jungkat-jungkit atau naik-turun, antara lain memberikan sinyal tingkat kesejahteraan warga. Di saat harga menjulang, maknanya bisa ganda. Satu sisi, masyarakat sedang doyan belanja sehingga mendorong tingkat permintaan. Tapi mungkin juga akibat ada masalah pada komoditas tertentu, misalnya urusan logistik yang seret dan mengakibatkan ongkos pengiriman jadi lebih mahal.
Ketika krisis akibat pandemi Covid-19 misalnya, harga makanan sempat mengalami deflasi atau penurunan sebesar 0,7%. Namun sejak Februari tahun ini, laju kenaikan harganya atau inflasi terus bergerak positif hingga akhirnya, pada Juli mencatat posisi tertinggi sejak delapan tahun terakhir.
Secara umum, kenaikan harga itu merupakan dampak dari perkembangan di pasar global, sehingga mengerek harga di dalam negeri. Maklum, masih banyak komoditas pangan yang didatangkan dari luar negeri. Akibatnya, ketika terjadi perubahan di pasar internasional seperti sekarang, harga di dalam negeri terkena getahnya.
Kendati demikian, komoditas pangan termasuk barang yang tidak elastis. Betapa pun besar kenaikan harganya, jumlah yang dibeli masyarakat tidak akan berkurang, karena merupakan kebutuhan pokok.
Kondisi berbeda bisa terjadi pada barang-barang di luar makanan seperti pakaian atau kendaraan bermotor. Komoditas-komoditas seperti inilah yang terkena dampaknya, karena masyarakat berpotensi menurunkan konsumsi di luar makanan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sudah mewanti-wanti, tingginya inflasi makanan yang sudah menyentuh 10,3% pada Juli 2022 bukan hanya urusan ekonomi, tapi bisa berdampak ke masalah sosial. Untuk itu, pada 10 Agustus lalu dia meluncurkan “Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan”.
Di antara tugas utamanya: menurunkan inflasi hingga separuh, yaitu 5-6%.
Biasanya, gerakan seperti ini berujung pada operasi pasar. Pemerintah, baik di pusat maupun daerah membanjiri komoditas strategis yang dikonsumsi masyarakat agar harganya turun. Tentu harganya sudah disubsidi.
Polanya akan mirip dengan kasus kelangkaan dan mahalnya minyak goreng yang terjadi di tahun ini. Bukan hanya pemerintah, partai politik pun turut serta buka gerai barang murah yang sedang langka dan mahal untuk mengambil hati warga. Entah dari mana barangnya diperoleh mengingat masyarakat sulit mendapatkannya di pasar.
Begitulah pernak-pernik di saat warga sedang gelisah. Tapi kembali ke soal inflasi harga makanan, Kabupaten Bungo di Provinsi Jambi menjadi wilayah dengan inflasi harga makanan tertinggi di Indonesia, yaitu 22,9% pada Juli 2022.
Sementara wilayah di sebelah timur Indonesia bahkan ada yang mengalami deflasi, yaitu Kota Sorong dan Manokwari. Wilayah lainnya, secara umum mengalami inflasi di bawah rata-rata nasional. Wilayah-wilayah ini bukan termasuk kantong-kantong produksi komoditas pangan strategis seperti beras.
Dengan begitu, di antara kemungkinannya: daya belinya yang sudah menurun atau makanan pokok yang dikonsumsi berbeda, yang menujukan adanya keragaman.