Dunia Usaha: Maju Kena, Mundur Kena

JAKARTA – Dalam kondisi normal, inflasi bisa menjadi pemandu bagi dunia usaha untuk meningkatkan produksi. Mimpinya tentu kenaikan laba. Tapi kenaikan harga yang terlalu tinggi justru bisa jadi malapetaka. Begitulah inflasi yang seperti pisau bermata dua.

Saat ini dunia usaha mungkin sedang mengalami dilema tersebut. Kenaikan harga energi dunia telah meningkatkan biaya produksi yang tinggi. Inflasi di tingkat produsen pada Maret 2022 telah mencapai 9,1%, jauh meninggalkan inflasi di tingkat konsumen yang masih 2,6%.

Memang tak mudah menaikkan harga jual produk di saat ekonomi masyarakat baru mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19. Jika dipaksa naik, harus siap-siap terima pukulan balik, yaitu menurunnya jumlah penjualan. Karena itu, menurunkan sedikit laba bisa menjadi pilihan rasional saat ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor usaha yang paling tertekan akibat kenaikan harga produsen adalah pertambangan. Inflasi tahunannya pada Maret 2022 mencapai 56,0%. Subsektor ini urusannya dengan pengerukan kulit bumi, seperti minyak dan gas bumi, batu bara, bijih timah, nikel, maupun emas.

Tingginya inflasi di sektor tersebut berpotensi merambat ke produk turunannya, atau sektor yang memanfaatkan hasil tambang. Amsal paling anyar adalah kenaikan tarif listrik yang diberlakukan oleh PT PLN (Persero) mulai 1 Juli 2022. Pemegang hak monopoli pembelian dan distribusi listrik ini menaikkan tarif untuk golongan pemakai 3.500 volt ampere (VA) dan selebihnya.

Untuk kasus ini, yang berkorban adalah pemerintah, bukan PLN. Dengan tidak naiknya tarif untuk pelanggan listrik bersubsidi, antara lain pelanggan rumah tangga dengan kapasitas 450-900 VA, maka pemerintah akan membayar kompensasi kepada perusahaan pelat merah itu. Hitungannya: harga keekonomian dikurangi harga jual, sisanya pemerintah setor ke PLN.

Subsektor lainnya adalah perkebunan dengan inflasi 24,0% (yoy). Selanjutnya disusul oleh industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak dengan 12,1% (yoy) serta subsektor industri pupuk.

Memang tidak semua barang ketika harganya naik lantas permintaannya turun atau elastis. Dari hasil estimasi Datanesia terungkap, respons permintaan setiap barang akibat perubahan harga sangat berbeda. Ada juga yang bersifat tidak elastis (inelastis).

Dari 17 kategori barang dan jasa yang ada dalam perekonomian, komoditas menyangkut kebutuhan dasar masyarakat cenderung tidak elastis. Setinggi apa pun harganya naik, masyarakat tetap membeli demi memenuhi kebutuhan dasar. Sekadar contoh, listrik dan produk pertanian semacam beras. Tentu sulit dibayangkan ada warga yang rela menerangi rumahnya tanpa listrik atau segera mengganti konsumsi beras dengan jagung.

Untuk komoditas bersifat tersier, karena bukan kebutuhan utama, tentu sangat elastis dengan perubahan harga. Ketika terjadi kenaikan harga, permintaannya berpotesi turun. Contohnya penyediaan akomodasi dan makan minum; perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor.

Dari hasil estimasi, untuk kelompok tersier ini, jika harganya naik sekitar 1%, maka permintaannya akan turun lebih dari 2%. Dalam kondisi seperti sekarang, yaitu inflasi tinggi, pengusaha sektor inilah yang paling dilematis.

Download Edisi White Paper

Akumulasi Bencana Global

Artikel sebelumnya

Pasar Menggiurkan E-Commerce

Artikel selanjutnya

Baca Juga