Operasi Senyap Bank Indonesia

JAKARTA – Sebagai bank sentral, Bank Indonesia bisa melakukan operasi moneter dengan terang-terangan seperti melalui konferensi pers, maupun operasi senyap. Tidak mengumumkan ke publik, tapi dicatat dalam laporan publikasi.

Sesuai mandatnya, Bank Indonesia punya tujuan tunggal: merawat stabilitas nilai tukar rupiah. Ada dua aspek dalam stabilitas ini. Pertama, stabilitas nilai mata uang terhadap barang dan jasa, dan kedua stabil terhadap mata uang negara lain. Pada aspek yang pertama, tercermin dari perkembangan inflasi. Untuk yang kedua, terlihat pada perkembangan nilai tukar rupiah.

Jika melihat perkembangan data, dalam tujuh tahun terakhir Bank Indonesia selalu mampu menjaga tingkat inflasi sesuai target. Seiring dengan itu, suku bunga acuan mampu dipertahankan pada tingkat yang rendah, sehingga mendorong gairah ekonomi untuk terus ekspansi.

Kini, kondisi global sedang berubah. Inflasi terus melonjak. Untuk menahan terjadinya hiperinflasi, sejumlah negara menaikkan suku bunga, yang lazim dikenal dengan kontraksi. Melalui kebijakan moneter itu, bank sentral menyedot likuiditas di pasar. Amerika Serikat misalnya, sejak Januari hingga Juni tahun ini telah empat kali menaikkan suku bunga. Kebijakan itu diikuti oleh Argentina, Brasil, Inggris, hingga Korea Selatan.

Bank Indonesia memilih jalan berbeda. Suku bunga acuan dipertahankan dalam posisi rendah, yaitu 3,5%. Alasannya, menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, inflasi masih terkendali sekaligus insentif bagi dunia usaha untuk mau berinvestasi. Instrumen moneter yang dijadikan andalan adalah menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk menarik likuiditas. Sejak 1 Maret 2022, GWM bank umum dinaikkan 1,5%, sehingga menjadi 5,0%. Selanjutnya, menjadi 6,0% pada Juni dan 6,5% di September. Kenaikan juga terjadi untuk bank umum syariah.

Sejak awal 2022, data Neraca Analisis Moneter Bank Indonesia menunjukkan nilainya yang selalu positif. Kondisi ini menunjukkan bahwa bank sentral sedang mengurangi jumlah uang beredar. Intinya, Bank Indonesia terus bermanuver dengan kebijakan kontraksi moneter tanpa instrumen suku bunga acuan.

Suku bunga yang rendah tentu menciptakan ancaman yang juga serius: pelarian modal atau capital outflow. Para pemilik modal akan memindahkan dananya ke negara yang memberikan imbal hasil lebih menjanjikan.

Jika kondisi tersebut terus berlanjut, giliran nilai tukar rupiah yang mendapat tekanan. Nilai tukar rupiah akan melemah, sehingga mengancam stabilitas nilai tukar dan inflasi yang perlu dijaga. Merujuk Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 1 Juli 2022 sudah Rp14.956 per dolar AS, naik sekitar 3,0% dibanding kondisi awal Juni yang Rp14.526 per dolar.

Kondisi rupiah sudah jauh melampaui target APBN 2022 yang Rp14.350 per dolar AS. Tak hanya sampai di situ, upaya Bank Indonesia menjaga inflasi sesuai rentang target, yaitu 3±1% pun telah tembus. BPS mencatat, inflasi Juni mencapai 4,35% (yoy).

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pertahanan Bank Indonesia telah bobol di dua tugas utamanya: stabilitas kurs rupiah dan menjaga inflasi dalam rentang target. Kini, sampai kapan bank sentral mempertahankan instrumen suku bunga acuan?

Download Edisi White Paper

6 Daerah Mulai Meredup

Artikel sebelumnya

Akumulasi Bencana Global

Artikel selanjutnya

Baca Juga