JAKARTA — Birokrasi yang gemuk dan lamban kerap dituding sebagai salah satu ancaman serius bagi negara berkembang. Birokrasi yang gendut bukan hanya tidak efisien, tapi juga gagal melayani publik secara profesional. Alih-alih dapat mendorong kesejahteraan sosial dan mengurangi kemiskinan –seperti dicita-citakan para pendiri bangsa– malah cenderung boros dan menghabiskan anggaran.
Meski jumlah pegawai pemerintah saat ini masih terlalu besar, harapan untuk memiliki birokrasi yang ramping, mulai tampak. Statistik pada Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat jumlah pegawai negeri sipil (PNS) kini cenderung makin menurun, setelah sebelumnya terus meningkat hingga mencapai puncak pada 2015.
Sepuluh tahun lalu, 2012, jumlah pegawai pemerintah mencapai 4,468 juta orang. Akhir 2021 jumlahnya menyusut hingga tinggal 3,996 juta atau turun 10,6%. Padahal, selama periode yang sama, populasi penduduk tumbuh 10%. Artinya, rasio pegawai negeri terhadap populasi semakin mengecil. Jumlah warga yang harus dilayani oleh seorang PNS, kini semakin banyak.
Tren menuju birokrasi ramping makin tampak jelas, pada pemerintah daerah (Pemda). Data BKN juga mencatat, selama 10 tahun terakhir, jumlah pegawai Pemda turun 14%, dari 3,557 juta pada 2012 menjadi 3,059 juta (2021). Padahal, selama periode tersebut, terjadi sejumlah pemekaran daerah yang membutuhkan banyak tambahan pegawai.
Turunnya jumlah pegawai disebabkan karena jumlah mereka yang pensiun lebih banyak dari PNS-baru yang direkrut. Selain itu, sejak empat tahun terakhir, pemerintah membuka “jalur” baru penerimaan pegawai melalui kontrak yang disebut PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), yang tak termasuk dalam perhitungan PNS.
Serupa dengan PNS, pekerja PPPK digaji dengan standar yang sama. Bedanya, PPPK dapat diberhentikan setelah masa kontraknya habis, bisa 3-5 tahun, dan tidak menerima uang pensiun. Hingga Juli 2022, jumlah PPPK telah mencapai 351.000 orang, dan tahun ini ditargetkan akan direkrut lebih dari satu juta orang pekerja kontrak pemerintah.
Susutnya jumlah PNS bukan berarti pos belanja pegawai semakin ringan, justru sebaliknya. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, pada 2012 realisasi belanja pegawai mencapai Rp197,9 trilyun atau 14,8% dari total penerimaan negara yang kala itu Rp1.338 triliun. Sepuluh tahun kemudian, 2021, beban tersebut melonjak dua kali lipat hingga menjadi Rp387,8 triliun atau 22,3% dari total penerimaan negara yang tahun lalu mencapai Rp1.736 trilyun.
Kenaikan pos belanja, dengan jumlah pegawai yang menyusut, bisa dilihat sebagai pertanda baik: penghargaan kepada pegawai pemerintah makin meningkat. Jika imbalan bagi PNS meningkat, kita bisa berharap bakat-bakat terbaik di negeri ini akan terpikat untuk meniti karier menjadi pegawai pemerintah, sehingga kualitas pelayanan publik akan semakin baik.
Sayangnya, besarnya belanja pegawai harus mengorbankan jatah belanja yang lain, termasuk pos untuk pembangunan prasarana publik.
Untuk memberi gambaran, beratnya beban belanja pegawai, Datanesia mencoba mengolah data keuangan daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan. Hingga awal Agustus 2022, Datanesia berhasil merekam 504 kabupaten/kota di Indonesia yang telah melaporkan realisasi keuangan tahun kalender 2021, ke DJPK.
Dari data tersebut dapat disimpulkan, hanya 91 daerah (18%) yang porsi belanja pegawainya terbilang “sehat”. Kabupaten/kota ini membelanjakan kurang dari 30% total belanja daerah, untuk pos belanja (gaji) pegawai.
Selebihnya, 200 wilayah membelanjakan 30%-39% belanja daerah untuk gaji pegawai, 170 wilayah membelanjakan 40%-49%, dan 44 kabupaten/kota (8% wilayah) lagi bahkan menghabiskan separuh atau lebih total belanjanya untuk menggaji pegawai.
Besarnya alokasi untuk gaji tentu saja membuat ruang fiskal bagi daerah sangat sempit. Tak ada lagi budget yang tersisa untuk pos-pos yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi seperti pembangunan prasarana publik. Tanpa ada pertumbuhan ekonomi, sulit bagi daerah untuk mengurangi tingkat pengangguran dan mengentaskan kemiskinan.
Ikhtiar untuk menertibkan alokasi belanja pegawai terus digencarkan. Melalui UU No. 1/2022, pemerintah membatasi belanja pegawai hingga maksimum 30% dari total belanja daerah. “Ketentuan ini akan diberlakukan bertahap hingga lima tahun ke depan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.