JAKARTA — Belakangan ini digitalisasi dianggap sebagai mantra ajaib yang dapat menyelesaikan semua persoalan, bahkan mengubah nasib. Banyak pejabat yang menggunakan jurus digital sebagai pilihan solusi untuk menghadapi berbagai persoalan.
Usaha kecil kurang maju? “Kita dorong agar mereka go digital”. Penjualan UMKM lesu, tak mampu ekspor? “Go digital, dong!”. Daerah wisata kurang tamu, “Go digital, saja.”
Seolah-seolah, begitu usaha kecil dan aset-aset produktif itu ramai-ramai mejeng di internet, semuanya akan beres. Nasib akan membaik. Pelanggan akan berduyun-duyun datang — dengan sendirinya.
Jurus go digital memang tak keliru. Teknologi ini sangat unggul, setidaknya untuk memperluas jaringan dan jangkauan pasar. Tapi, itu saja tidak cukup. Go digital perlu prasarana dan ekosistem yang sesuai, agar ikhtiar tersebut tidak hanya menggantang asap.
Untuk mengenali ekosistem yang mendukung digitalisasi, Datanesia mencoba menelisik daerah-daerah yang penduduknya banyak melakukan transaksi e-commerce. Apakah wilayah-wilayah ini memiliki karakter yang seragam?
Menggunakan data Susenas BPS tiga tahun terakhir (2019 – 2021), Datanesia menyusun 10 daerah dengan persentase penduduk yang paling banyak aktif di e-commerce, baik sebagai pembeli maupun penjual.
Ke-10 daerah tersebut, semuanya terdapat di Pulau Jawa. Enam di antaranya merupakan wilayah aglomerasi Jabodetabek. Empat sisanya: Kota Bandung, Kota Yogyakarta, Kota Madiun, dan Kota Salatiga.
Masuknya 10 kota tersebut ke dalam wilayah e-commerce terbesar di Indonesia, mestinya bisa diduga. Yang di luar perkiraan mungkin masuknya Madiun dan Salatiga yang secara mengejutkan menyingkirkan Surabaya dan Semarang.
Namun secara umum dapat dipastikan, ke-10 kota ini didukung oleh prasarana internet yang memadai. Di DKI Jakarta, misalnya, dari 267 kelurahan yang ada di wilayah ini (data 2020), sebanyak 239 kelurahan di antaranya (90%) memiliki sarana menara pemancar telekomunikasi atau BTS (base tranceiver station).
Bandingkan misalnya dengan Sumatra Utara. Dari 6.137 desa dan kelurahan yang ada di wilayah tersebut, hanya 2.433 (40%) yang memiliki BTS. Keterbatasan prasarana digital ini membatasi wilayah-wilayah di luar Jawa dalam meramaikan pasar e-commerce.
Begitu juga dalam hal tingkat penggunaan handphone. Sejauh ini, telepon tangan menjadi piranti utama untuk mengakses internet. Pada 10 kota dengan e-commerce terbesar itu, persentase penduduk yang menggunakan telepon tangan rata-rata mencapai 85%-90%, jauh di atas persentase nasional yang 76%.
Selain prasarana digital, wilayah perkotaan juga cenderung dilengkapi dengan akses logistik yang lebih komplit ketimbang di daerah pedalaman. Kelebihan ini membuat warga lebih mudah (dan murah) dalam mengirim dan menerima kiriman barang.
Kota-kota ini juga punya karakter sama dalam hal: porsi orang muda dan lulusan pendidikan menengah atas (lulusan Sekolah Lanjutan Atas hingga perguruan tinggi), yang lebih banyak ketimbang rata-rata nasional. Di Kota Madiun, misalnya, porsi penduduk yang lulus SLA dan perguruan tinggi mencapai 58%, atau hampir dua kali lipat dari rata-rata nasional yang 29,3%.
Karakter lain yang dapat dideteksi: tingkat pengeluaran per kapita di atas rata-rata nasional. Kelebihan ini membuat warga memiliki ruang untuk belanja kebutuhan bukan-makanan (non-primer). Jika ditilik dari data BPS, rata-rata porsi belanja non-pangan di-10 kota ini berada di antara 47%-54%, di atas rata-rata nasional yang 44%.
Beberapa karakter yang seragam ini memberi petunjuk bahwa ikhtiar digitalisasi berpeluang tumbuh lebih subur di wilayah yang cocok. Yang terpenting tentu saja: adanya sarana internet dan logistik yang memadai. Berikutnya: tingginya tingkat pendidikan (sehingga warga lebih mudah melek internet), dan tingkat pengeluaran yang memadai sehingga masyarakat punya cukup “ruang” untuk belanja kebutuhan non-primer.