Kinerja industri farmasi yang menangguk banyak rezeki di tengah pandemi menyimpan beragam risiko bagi ketersediaan obat dan ketahanan ekonomi. Masih banyak pekerjaan rumah untuk menjadi industri.
- Sektor farmasi tidak hanya berperan dalam menunjang kesehatan masyarakat, tetapi juga dalam mendukung perekonomian nasional. Kinerja pertumbuhannya jauh melampaui industri pengolahan bahkan pertumbuhan ekonomi nasional secara umum. Pada 2019, bahkan sebelum terjadinya pandemi, sektor kimia, farmasi dan obat-obatan mampu tumbuh hingga 8,5% dibandingkan tahun sebelumnya, lalu tumbuh lebih tinggi pada 2020 dan 2021, yaitu masing-masing 9,4% (yoy) dan 9,6% (yoy).
- Ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat impor masih sangat tinggi, yaitu sekitar 90%. Kondisi ini tentu saja dapat mengancam kesinambungan bahan baku, jaminan kualitas bahan baku, stabilitas harga bahkan ketersediaan obat di Indonesia.
- Industri farmasi merupakan industri yang spesifik dengan karakteristik: (1) padat modal (capital intensive), (2) padat teknologi (technology intensive), (3) ketat regulasi (higly regulated), dan (4) tenaga kerja terlatih (highly skilled labour). Untuk bisa bersaing dengan Industri Farmasi Global, diperlukan upaya peningkatan research and development (R&D) dengan mendorong peningkatan alokasi biaya R&D bagi perusahaanperusahaan farmasi di Indonesia.
- Kinerja BUMN di sektor farmasi masih jauh ketinggalan dibandingkan swasta, walaupun perusahaan pelat merah merupakan pemain pertama di sektor tersebut. Kini mendapat mandat lebih besar setelah terbentuknya holding farmasi, yaitu menjadi industri yang berperan penting untuk mengembangkan produk farmasi demi menekan impor. Persoalannya, alokasi biaya riset dan pengembangan dari perusahaan pelat merah nyaris tak menyentuh 2% dari total alokasi belanja atau biaya tahunan yang dikeluarkan.