JAKARTA – Seandainya pemerintah memaksakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,1%, dari 11% yang berlaku sekarang menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, siap-siap jumlah orang miskin bakal bertambah.
PPN merupakan pajak yang langsung dikenakan pada barang dan jasa, sehingga yang menanggung adalah masyarakat sebagai konsumen. Harga-harga akan naik, sehingga memicu inflasi alias kenaikan harga secara terus-menerus. Terkecuali, barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari kenaikan pajak tersebut.
Beberapa barang yang terimbas kenaikan tarif PPN, antara lain pakaian, sepatu, tas, sabun, kulkas, mesin cuci, ponsel, laptop, komputer, furnitur, motor, mobil, rumah, dan apartemen. Kenaikan ini tentu menambah beban bagi pengeluaran masyarakat.
Kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan minimal ikut melemah. Pengeluaran pas-pasan sesuai garis kemiskinan, yakni Rp582 ribu per orang setiap bulan. Akibat inflasi, patokan ini akan terdongkrak ke atas, sehingga yang awalnya tidak miskin tapi pengeluarannya berdekatan dengan garis kemiskinan, bisa tergelincir dan menambah panjang daftar dalam kelompok masyarakat miskin.
Datanesia coba membuat plot data inflasi dengan garis kemiskinan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 10 tahun terakhir (Maret 2014-Maret 2023). Hasilnya mudah ditebak: dua indikator tersebut bergerak searah. Ketika inflasi bergerak positif, garis kemiskinan juga naik. Begitu pun sebaliknya.
Tekanan pada kelas menengah
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan mungkin punya kekhawatiran serupa. Dia ingin sebelum kenaikan PPN diberlakukan, stimulusnya berupa bantuan sosial kepada masyarakat meluncur dulu sebagai penyangga.
Ada juga bantuan sosial lain yang sudah berjalan dan ikut menyangga beban pengeluaran masyarakat, antara lain program keluarga harapan (PKH). Tapi biasanya, bantuan sosial diberikan untuk masyarakat dalam kelompok miskin dan rentan miskin. Masyarakat kelas menengah tidak masuk dalam daftar, walau pun tentu saja ikut terdampak kenaikan PPN.
Menurut definisi BPS, kelas menengah adalah kelompok masyarakat dengan pengeluaran per kapita sekitar Rp2 juta hingga Rp9,9 juta per bulan. Sementara calon kelas menengah atau yang biasa disebut aspiring middle class, pengeluarannya Rp874 ribu-Rp2 juta per bulan. Di bawahnya, ada kelompok rentan miskin dengan pengeluaran Rp582-874 ribu, serta kelompok miskin yang pengeluarannya di bawah Rp582 ribu per bulan.
Calon kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang jumlahnya paling banyak dibandingkan lainnya. Ada sekitar 137,5 juta orang atau 49% dari total populasi pada 2024. Sementara kelas menengah ada 47,85 juta orang, 17% dari populasi dan kelompok rentan miskin berjumlah 67,69 juta orang atau sekitar 24%.
Jumlah masyarakat dalam kelompok tersebut mungkin segera berubah akibat tekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan PPN. Dari hasil simulasi Datanesia, dengan asumsi pendapatan masyarakat tidak mengalami perubahan, kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi meningkatkan garis kemiskinan sebesar 2%. Dengan asumsi itu, jumlah warga miskin akan bertambah sekitar 1 juta orang.
Mengganggu pertumbuhan ekonomi
Masalah kenaikan PPN ini belum berhenti hingga penambahan jumlah orang miskin. Dompet kelas menengah dan calon kelas menengah, kelompok masyarakat dengan populasi yang dominan, bakal ikut mengempis.
Aktivitas belanjanya bisa jadi melambat. Selanjutnya giliran kinerja perekonomian nasional yang terganggu, karena 81% dari total konsumsi rumah tangga berasal dari kantong dua kelompok masyarakat yang mayoritas itu. Sementara kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto atau PDB mencapai 54,5%.
Tak heran jika banyak ekonom dan pengusaha yang mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kenaikan PPN ini. Selain akan mempersulit kehidupan mayoritas warga, ambisi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dalam lima tahun ke depan juga bakal terganggu.