JAKARTA — Di antara gemuruh berita Pilpres, terselip satu kabar yang menyulut kontroversi: kenaikan tarif pajak hiburan menjadi 40% – 75%.
Tentu saja, kabar ini menuai protes. Bukan hanya memberatkan pemilik usaha, lonjakan tarif itu dinilai bakal menghambat penyerapan tenaga kerja.
Hiburan merupakan salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja yang tidak dibekali keahlian khusus. Ini karakter yang istimewa, sangat berarti bagi negara dengan mayoritas angkatan kerja berpendidikan rendah, seperti Indonesia.
Lebih dari itu, dampak pajak mahal yang menjerat bisnis hiburan akan mudah menjalar ke sektor-sektor lain di seputar ekosistem pariwisata, seperti akomodasi, transportasi, dan perdagangan.
“Wisata itu bisnis kolaborasi,” kata Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran. “Hiburan hanya salah satu dari aspek atraksi di sebuah destinasi.”
Sebagian tarif malah turun
Perlu dicatat, kenaikan tarif pajak ini tak berlaku seragam bagi semua jenis hiburan. Tarif 40%-75% hanya dikenakan untuk konsumsi jenis hiburan tertentu, yaitu diskotik, karaoke, spa atau mandi uap, klab malam, dan bar.
Beberapa jenis hiburan lain, tarifnya malah diturunkan. Jenis hiburan seperti pameran, pagelaran seni, sirkus, panti pijat, pacuan kuda, permainan ketangkasan, atau kontes kecantikan yang semula tarifnya bisa sampai 35%, kini paling tinggi hanya 10%. Ini setara dengan tarif pajak konsumsi yang lain, seperti makanan dan minuman, listrik, hotel, atau jasa parkir.
Menurut pemerintah, penyesuaian tarif pajak hiburan dilakukan guna mendorong ekonomi daerah dan mengembangkan industri wisata.
Selain menurunkan sebagian besar tarif pajak hiburan, pemerintah juga membebaskan pajak jasa kesenian yang terkait promosi budaya tradisional.
Selama ini keuangan daerah masih banyak menyusu pada pemerintah pusat. Penyesuaian tarif pajak hiburan (yang masuk ke kas daerah) diharapkan dapat mendongkrak keuangan daerah sehingga ketergantungan daerah terhadap transfer dana dari pusat dapat dikurangi.
Sumbangan minor
Sesungguhnya, berapa kontribusi pajak hiburan terhadap pendapatan daerah? Jangan kaget, porsinya ternyata sangat minim.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta 2023 menunjukkan, dari Rp43,5 trilyun penerimaan pajak di Ibu Kota RI, sumbangan pajak hiburan hanya Rp700 miliar atau tak sampai 2%.
Jika diurutkan dari yang terbesar, sumbangan pajak hiburan dalam penerimaan pajak DKI Jakarta hanya nomor 11. Ini posisi ketiga terbawah, di bawah pajak reklame dan pajak penerangan jalan. Pajak hiburan hampir sepersepuluh dari pajak Balik Nama Kendaraan Bermotor atau BNKB.
Kinerja pajak hiburan dari tahun ke tahun juga cenderung landai. Untuk DKI Jakarta, laju pertumbuhannya tak sampai satu persen per tahun.
Pengendalian konsumsi
Lalu mengapa tarif pajak hiburan spa, karaoke, dan diskotik dipatok begitu tinggi? Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana, penyesuaian ini dilakukan demi pemenuhan rasa keadilan.
Tak jelas betul apa yang dimaksud Lydia dengan “keadilan”. Ia hanya menjelaskan bahwa jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, dan spa hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu.
“Penetapan tarif ini mempertimbangkan rasa keadilan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu yang perlu mendapatkan dukungan melalui optimalisasi pendapatan negara,” katanya.
Agaknya, ada yang tak dikatakan dengan terus terang: pemerintah bermaksud membatasi konsumsi hiburan tertentu yang dianggap “harmful” – atau dalam bahasa yang lebih lentur disebut “berkonotasi negatif”
Tarif pajak 40% tentu saja sulit mendorong penerimaan daerah. Justru sebaliknya, tarif setinggi itu akan memangkas konsumsi sehingga dapat menghambat pertumbuhan usaha.
Pendek kata, pemerintah tak menghendaki jenis-jenis hiburan tertentu itu booming. Spa, karaoke, bar, diskotek, dan klab malam mulai diperlakukan seperti rokok dan minuman beralkohol.
Konsumsi yang berlebihan terhadap jasa dan barang-barang itu dianggap dapat membahayakan (kesehatan maupun sosial), sehingga pemerintah menganggap perlu mengendalikannya dengan tarif pajak atau lebih tepatnya “cukai” yang tinggi.