Kondisi fiskal belakangan ini tampak demam menghadapi gejolak harga komoditas, terutama minyak mentah di pasar internasional yang membuat anggaran subsidi membengkak. Ruang gerak anggaran terasa sesak lantaran beban makin berat.
Tingkat kesehatan fiskal yang lazim diukur melalui indikator fiscal sustainability makin lemah. Ketika kondisi fiskal tidak sehat atau tidak berkelanjutan, dampak yang mungkin segera terasa: proyek pembangunan bakal tersendat dan subsidi mulai berkurang.
Tentu saja ini bukan sekadar dampak “kemarin sore”. Kebijakan bertahun-tahun sebelumnya pun ikut memberikan andil. Namun merawat fiskal yang sehat merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik hari ini maupun mendatang.
Ringkasan Eksekutif
- Keberlanjutan fiskal terkait erat dengan kemampuan anggaran memenuhi kewajiban, terutama utang. Karena itu, perkembangan tingkat penerimaan negara juga menjadi penting, sehingga kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya tetap tinggi. Dengan begitu, kondisi fiskal atau anggaran bukan hanya sehat secara politik –sejalan dengan undangundang-, tapi juga sehat brankasnya dalam jangka panjang.
- Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, posisi fiskal Indonesia masuk kategori tidak berkelanjutan (unsustain) pada dua tahun terakhir: 2020 dan 2021. Ini terjadi lantaran nilai aktual keseimbangan primer lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas yang seharusnya. Dalam jangka panjang kondisi fiskal tidak sehat, sehingga daya topangnya untuk mendukung program pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kurang bertenaga.
- Defisit pada keseimbangan primer menandakan kantong pemerintah makin cekak. Dampaknya nyata. Pembayaran bunga dan pokok utang maupun tambahan belanja program harus ditutupi oleh pinjaman baru. Dalam kondisi perlu suntikan dana, daya tawar di pasar pun cenderung lemah. Dalam penerbitan surat utang guna memenuhi kebutuhan anggaran misalnya, kondisi tersebut harus ditebus dengan tawaran imbal hasil yang mahal, seperti terjadi saat ini.
- Utang yang berlebihan berpotensi membuat negara masuk jebakan utang. Siklusnya kira-kira seperti ini: defisit besar, sehingga harus didanai oleh pinjaman yang menyebabkan posisi utang makin tambun. Akibatnya, makin besar alokasi anggaran untuk membayar bunga utang, yang kemudian mendorong tambahan defisit anggaran. Kondisi ini terus berputar tiada henti, yang diistilahkan sebagai lingkaran setan.
- Indikator pertama dari kondisi utang yang sehat adalah rasionya terhadap PDB setidaknya dalam kondisi stabil atau terus turun. Kondisi ini pernah terjadi setelah masa reformasi hingga 2012. Pada 2013 mulai naik, dan terus menanjak secara konsisten sejak 2015 hingga saat ini. Dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), jumlah utang pemerintah rata-rata tumbuh 24,9% per tahun. Rasionya terhadap PDB juga makin menjulang, dari 23,0% menjadi 40,7%.
- Indikator kedua, terhindar dari “Skema Ponzi”. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar agar pembayaran utang tidak melalui penerbitan utang baru. Jangan sampai utang dan bunganya berputar terus: dari utang untuk membayar utang. Kondisi yang terjadi pada utang Indonesia mengisyaratkan masuk dalam jebakan skema yang merugikan ini.
- Indikator ketiga adalah solvabilitas atau kemampuan memenuhi kewajiban. Dalam konteks anggaran yang sehat, idealnya utang dibayar melalui surplus fiskal. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengusahakan tercapainya surplus (primer) dalam anggarannya. Persoalannya, kemampuan Indonesia dalam menarik pajak makin layu, seperti ditunjukkan melalui tax ratio dan tax bouyancy.
- Kemampuan Indonesia dalam indikator tax ratio dan tax bouyancy juga lebih rendah dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Ambil contoh kasus 2019, seperti dipublikasikan dalam World Development Indicators (WDI) Bank Dunia. Tax ratio Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand paling paling rendah 11,9%, sementara Indonesia hanya mampu di angka 9,8%. Untuk tax bouyancy, empat negara lain itu minimal ada di posisi 0,5 dari kondisi ideal 1,0. Bahkan Filipina dan Singapura mampu menembus angka ideal, yaitu masing-masing 1,5 dan 2,5.