Ketahanan Energi Setengah Hati

Memperdebatkan perlunya subsidi energi mungkin lebih eksotis atau menarik perhatian ketimbang menyentuh substansi persoalan sesungguhnya: ketahanan energi nasional yang posisinya kian kendur. Eksesnya menyentuh banyak sisi, dari kerentanan terhadap perubahan harga energi di pasar global, peningkatan subsidi, hingga bertambahnya beban pengeluaran masyarakat. Pada laporan #SeriEkonomiKita-3 ini, Datanesia menelusuri dan memetakan persoalan klasik yang terus menjadi beban, dan nyaris tak pernah terdengar upaya solusinya.

Ringkasan Eksekutif

  • Lonjakan harga minyak mentah di pasar global memperlihatkan sensitifnya ketahanan energi nasional. Terutama berkenaan dengan harga yang menjauh dari jangkauan. World Energi Council (WEC) menempatkan peringkat Trilemma Index Indonesia pada 2021 di posisi 58 dari 127 negara, dengan skor 61,1. Dibandingkan tahun sebelumnya, turun dua peringkat. Posisi Indonesia tercatat di bawah Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, serta Thailand.
  • Dari aspek ketersediaan, kerentanan ketahanan energi terutama terjadi pada jenis minyak mentah, bahan bakar minyak, dan elpiji yang sangat bergantung pada impor. Tiga jenis produk itu masih membutuhkan subsidi untuk konsumsi domestik. Daya rambatnya menjalar ke banyak urusan. Dari potensi tekornya APBN, peningkatan ongkos produksi, hingga beban pengeluaran masyarakat.
  • Kemampuan produksi Indonesia untuk batu bara dan gas alam masih sangat memadai hingga saat ini. Tapi dalam lima tahun terakhir hanya produksi batu bara yang meningkat, dari 386 juta ton pada 2012 menjadi 614 juta ton di 2021. Sebagian besar produksi batu bara nasional langsung dijual ke luar negeri. Hanya sedikit yang digunakan oleh industri maupun pembangkit listrik dalam negeri.
  • Ironi terjadi pada elpiji. Produksi gas alam Indonesia jauh melebihi kebutuhan konsumsi domestik. Namun, yang masuk kilang pengolahan untuk menjadi elpiji rata-rata hanya 1,0% per tahun, dalam periode 2012-2021. Dari rata-rata produksi 2.514 MMSCF per tahun pada periode tersebut, porsi yang masuk ke kilang LNG 35,8%, langsung ekspor (11,4%), industri (25,7%) dan pembangkit listrik (30,6%).
  • Dari sisi harga, jika dilihat berdasarkan rasionya terhadap pendapatan per kapita, maka harga BBM di Indonesia sebenarnya tidak murah. Untuk RON 95 atau Pertamax Plus misalnya, nilainya di Indonesia lebih tinggi dibandingkan sejumlah negara, seperti Malaysia, Hong Kong, maupun Singapura. Rasionya terhadap pendapatan per kapita sekitar 0,34%. Di Hong Kong misalnya, walaupun harganya sekitar Rp44 ribu per liter, namun hanya 0,07% dari pendapatan per kapita masyarakat di negara tersebut.
  • Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sebagai energi primer untuk menopang pembangkit listrik selama bertahun-tahun selalu yang terbesar. Dominasinya mulai berakhir pada 2019, kemudian digantikan oleh batu bara. Sejak tahun itu, porsi terbesar dari energi untuk pembangkit adalah batu bara, yang pada 2021 porsinya mencapai 37,6% dan BBM 33,4%.
  • Setiap ada kenaikan harga minyak mentah US$1 per barel berdampak pada penambahan subsidi dan kompensasi BBM sekitar Rp2,7 triliun. Asumsi itu berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara kumulatif, hitungan Datanesia penambahan subsidi energi akan bertambah Rp4,5 triliun dari setiap kenaikan ICP sebesar US$1. Inilah yang membuat pemerintah meradang.

Download White Paper

Rindu Dendam Modal Asing

Artikel sebelumnya

Harga Pangan Naik, Kesejahteraan Petani Melorot

Artikel selanjutnya

Baca Juga