Impor Beras Setelah Swasembada

JAKARTA – Tahun lalu, International Rice Research Institute (IRRI) memberi sertifikat pengakuan bahwa Indonesia mengalami swasembada beras pada 2019-2021. Namun enam bulan setelah pengakuan tersebut, Indonesia justru berencana mengimpor beras sebesar 2 juta ton. Alasannya, El Niño tahun ini diprediksi membuat panen tak merata. Selain itu volume surplus beras kian tahun kian kecil.

Perkembangsan Impor Beras

Faktanya, selama 1989-2023, Indonesia tak pernah absen mengimpor beras. Pada tahun reformasi 1999 misalnya, Indonesia mengimpor 4,7 juta ton beras bernilai US$1,3 miliar. Ini merupakan volume beras tertinggi yang pernah diimpor dalam 34 tahun terakhir.

Selama enam tahun terakhir, impor beras kerap kali melonjak jelang pemilu. Pada 2018, impor beras melonjak 638% (year on year) menjadi 2,2 juta ton atau US$ 1 miliar. Impor mulai mengendur dalam empat tahun setelahnya yaitu, rata-rata 408 ribu ton per tahun. Pada periode ini pula, IRRI menyebut bahwa Indonesia mengalami swasembada beras. Pola serupa muncul pada 2023, pemerintah merencanakan impor 2 juta ton beras atau melonjak 365% dibanding tahun sebelumnya.

Selama 10 tahun terakhir, Vietnam menjadi negara pemasok beras terbesar ke Indonesia sebesar 2,6 juta ton beras atau 34% dari total pasokan. Selisihnya dengan pemasok terbesar kedua yaitu Thailand, hanya sebesar 134 ribu ton.

Dalam lima tahun terakhir, terjadi pergeseran negara-negara pemasok beras terbesar ke Indonesia. Pakistan dan India menjadi lebih dominan. Pakistan misalnya pada 2019-2020 merupakan pemasok beras terbesar di Indonesia. Sementara India menyediakan pasokan beras terbanyak pada 2021-2022.

Harga lebih murah tak selalu menjadi pertimbangan impor. Selama delapan tahun terakhir, hanya pada 2020, pemasok terbesar beras ke Indonesia merupakan negara yang memberikan harga termurah yaitu Pakistan sebesar Rp4.979 per kilogram.

Harga beras eceran di pasar tradisional sendiri terbilang jauh lebih tinggi ketimbang harga beras impor. Selisih harganya rata-rata mencapai 50%. Tahun ini misalnya, harga beras eceran di pasar tradisional mencapai Rp13.196 per kilogram, harga ini, 43% lebih tinggi dari harga beras impor tertinggi (dari Thailand) pada 2023 sebesar Rp 7.523 per kilogram.

Harga beras yang tinggi di pasar domestik tidak berdampak pada kesejahteraan petani. Nominalnya terasa besar. Tapi upah riil yang menggambarkan daya beli, yakni upah nominal dibagi dengan indeks harga konsumen, justru mengecil. Ini mengisyaratkan kenaikan harga barang lebih laju atau setidaknya sama dengan kenaikan upah nominal.

Download Report – Impor Beras Setelah Swasembada

Hanya 1 dari 10 Tenaga Kerja Indonesia Lulus Universitas

Artikel sebelumnya

Mimpi Hilirisasi Tembaga

Artikel selanjutnya

Baca Juga