Hikayat Deindustrialisasi

Para peminat kontestasi pemilihan presiden 2024-2029 sudah bermunculan dan disorong. Di luar penampilannya yang terkadang kelewat “unik dan lucu”, belum ada satu pun yang menyajikan konsep, pemikiran, atau strategi membangun Indonesia ke depan. Datanesia mencoba menghimpun beragam masalah fundamental ekonomi yang menjadi pekerjaan rumah melalui kajian “SeriEkonomiKita”. Sebuah ikhtiar untuk menjadi perhatian para pemimpin di negeri ini. Bagian pertama kali ini soal deindustrialisasi yang antara lain ditandai oleh peran industri yang terus menciut.

Ringkasan Eksekutif

  • Kinerja industri pengolahan (sektor industri) yang ditunjukkan melalui kontribusinya terhadap PDB, terus melemah. Bahkan pada 2021, dengan kontribusi terhadap PDB sekitar 19,3%, merupakan yang terendah dalam dua dekade atau 20 tahun terakhir. Kontribusinya yang tertinggi dalam 37 tahun terakhir terjadi pada 1997 (25,3%), kemudian terempas krisis. Kondisinya pulih dengan angka kontribusi tertinggi 24,3%, terjadi pada 2002. Setelah itu terus turun secara konsisten hingga saat ini.
  • Sebagian besar pemain di sektor industri masuk kategori mikro, yaitu 92% dari total pelaku usaha sektor industri nasional. Sekadar informasi, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021, usaha mikro memiliki modal usaha maksimal Rp1 miliar dan usaha kecil paling banyak Rp5 miliar. Nilai penjualan kedua kelompok usaha itu paling banyak Rp2 miliar dan Rp15 miliar.
  • Industri logam dasar menjadi sub-sektor industri pengolahan dengan pertumbuhan tertinggi di antara keluarga industri. Dalam lima tahun terakhir (2017-2021), rata-rata pertumbuhan tahunannya mencapai 7,0% per tahun. Beragam kebijakan pemerintah ikut menopang kinerja tersebut, antara lain gairah dalam pembangunan infrastruktur maupun pengendalian produk impor.
  • Kinerja sub-sektor industri pengolahan yang terburuk terjadi pada sub-sektor batu bara serta pengilangan minyak dan gas bumi. Sepanjang 2017-2021, setiap tahun kinerjanya rata-rata menyusut 1,5%, walaupun tumbuh positif pada 2021. Kinerja dari sub-sektor pengolahan tersebut memberikan sinyal tidak berjalannya aktivitas pengolahan di dalam negeri, walaupun Indonesia memiliki bahan baku memadai untuk batu bara, minyak dan gas.
  • Pertumbuhan tenaga kerja di sektor pengolahan mencapai puncaknya pada 1994, yaitu naik 23,7% secara tahunan (yoy). Setelah itu terus melambat, bahkan beberapa kali mengalami kontraksi alias menyusut. Pada 2021 pun hanya tumbuh 6,9%. Sedangkan daya serap tenaga kerja di sektor tersebut mencapai puncaknya pada 1997, yakni 25,3%. Pencapaian tersebut merupakan yang tertinggi dalam 37 tahun terakhir. Sejak itu, porsi tenaga kerja di sektor pengolahan terus melemah.
  • Ketergantungan Indonesia pada impor barang setengah jadi masih sangat tinggi. Pada 2021 misalnya, porsi ekspor barang hasil industri Indonesia terhadap total ekspor mencapai 79,3% atau senilai US$172,9 miliar. Tapi pada periode yang sama, impor bahan baku dan bahan penolong berkontribusi 70,4% dari total impor. Ini memperlihatkan lemahnya industri antara (intermediate industry) atau industri pengolahan di dalam negeri.
  • Dari hasil simulasi Datanesia, setiap ada kenaikan 1% pada industri pengolahan, sektor tersebut mampu menyerap tambahan tenaga kerja sebanyak 258.065. Sensitivitas tertinggi memang ada di sektor pertanian. Namun dalam jangka panjang, pengembangan luas lahan akan memiliki keterbatasan. Kondisinya berbeda dengan industri pengolahan yang masih sangat terbuka untuk dikembangkan.
  • Lambatnya pertumbuhan kinerja industri pengolahan juga dapat diintip dari minat para investor. Para pemilik modal di dalam negeri lebih senang menanamkan dananya di sektor tersier atau jasa. Dalam lima tahun terakhir (2017-2021), total investasi yang ditanam mencapai Rp1.838 triliun dan sebagian besarnya, yaitu 58,7% untuk sektor tersier. Jatah sektor sekunder atau industri pengolahan hanya 24,7%.

Download White Paper

10 Kabupaten/Kota Paling Potensial

Artikel sebelumnya

Mantra Ajaib Digitalisasi

Artikel selanjutnya

Baca Juga