JAKARTA – Kemampuan produksi Indonesia pada dua komoditas energi: batu bara dan gas alam masih sangat memadai hingga saat ini. Tapi dalam lima tahun terakhir hanya produksi batu bara yang meningkat, dari 386 juta ton pada 2012 menjadi 614 juta ton di 2021.
Sebagian besar produksi batu bara nasional langsung dijual ke luar negeri, dan hanya sedikit yang digunakan di dalam negeri, baik oleh industri maupun pembangkit listrik. Dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), rata-rata porsi yang diekspor per tahun sekitar 73,2% dari total produksi.
Sedangkan produksi gas alam serta turunannya maupun minyak mentah terus turun. Hingga tahun lalu, produksi gas alam memang masih lebih tinggi dari kebutuhan penggunaan di dalam negeri. Namun untuk produk hilir, seperti elpiji masih keteteran, karena harus dipenuhi oleh produk impor. Dalam lima tahun, selisih antara produksi dengan kebutuhan penggunaan domestik meningkat dari 3 juta ton menjadi 7 juta ton.
Begitu pun dengan produk minyak olahan seperti bahan bakar minyak (BBM). Sejak posisi Indonesia menjadi net importer pada 2008, kebutuhan produk minyak olahan banyak didatangkan dari luar negeri, yang sebagian besar dari Singapura. Negara nir sumber daya alam itu menyediakan lahan pengolahan, kemudian hasil produksinya dikirim ke Indonesia.
Penurunan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan BBM di pasar dalam negeri, terutama karena tingkat produksi yang secara perlahan-lahan turun. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2012 kemampuan
produksi minyak mentah masih 315 juta barel, kemudian melorot jadi 240 juta barel pada 2021. Pada akhirnya, walaupun tanpa gejolak kenaikan harga di pasar internasional, ketersediaan produk olahan minyak ini akan terus jadi persoalan. Apalagi kemampuan kilang di dalam negeri juga terbatas. Dalam 10 tahun terakhir, bahan baku yang masuk ke proses pengolahan hanya ada di kisaran sekitar
300 juta barel per tahun.
Sementara, kebutuhan domestik dua komoditas penting yang digunakan sehari-hari oleh rumah tangga, yaitu BBM dan elpiji, saat ini harus dipenuhi melalui impor. Dua produk ini juga mengandung subsidi. Akibatnya, setiap ada kenaikan harga pada bahan mentahnya, beban subsidi berpotensi naik.
Ironi terjadi pada elpiji, mengingat produksi gas alam Indonesia jauh melebihi kebutuhan konsumsi domestik. Persoalannya, yang masuk kilang pengolahan untuk menjadi elpiji rata-rata hanya 1,0% per tahun, dalam periode 2012-2021. Dari rata-rata produksi 2.514 MMSCF per tahun pada periode itu, porsi yang masuk ke kilang LNG 35,8%, langsung ekspor (11,4%), industri (25,7%) dan pembangkit listrik (30,6%).
Karena itu sungguh tragis dengan nasib elpiji yang kebutuhannya terus meningkat itu. Defisit produk gas justru di negara yang produksinya melimpah, melebihi kapasitas konsumsi dalam negeri. Untuk komoditas ini, ekspor lebih dominan ketimbang dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri, seperti terjadi pada batu bara.